Rabu, 11 Februari 2015

makalah hukum perikatan



MAKALAH
HUKUM PERIKATAN

DOSEN PENGAJAR :
ERMAWATI PUSPITASARI, SH


                                                  








Di Susun Oleh :
Lutfi Saputra
NIM. 130400038641
Semester III (tiga) Reguler C kelas B


UNIVERSITAS KAPUAS SINTANG
FAKULTAS HUKUM
2014






KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb
Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa saya dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang berjudul “Hukum Perikatan” dengan lancar. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua dan dapat di jadikan sebagai bahan ajaran yang bermanfaat.
Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya pada umumnya, dan semoga bermanfaat bagi saya sendiri sebagai penulis, saya menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna untuk itu saya akan menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan kearah kesempurnaan. Akhir kata penulis sampaikan terimakasih.
Waalaikum salam wr. wb
Sintang, 04 November 2014



Lutfi Saputra 




DAFTAR ISI
Judul ....................................................................................................................... i
Kata Pengantar ..................................................................................................... ii
Daftar Isi ...............................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2  Rumusan Masalah ...................................................................................... 1
1.3  Tujuan ......................................................................................................... 1
1.4  Manfaat ....................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1  Istilah dan Pengertian Perikatan ................................................................ 3
2.2  Dasar Hukum Perikatan ............................................................................. 7
2.3  Jenis-Jenis Perikatan ................................................................................. 9
2.4  Asas-asas Hukum Perikatan ..................................................................... 17
2.5  Prestasi dan Wanprestasi .......................................................................... 20
2.6  Hapusnya perikatan .................................................................................. 25
BAB III PENUTUP
3.1  Kesimpulan .............................................................................................. 30
3.2  Saran ........................................................................................................ 30
3.3  Daftar Pustaka .......................................................................................... 31





BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Hukum perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibathukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harushalal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang. Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yangsifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telahdisepakati dalam perjanjian.

1.2  Rumusan Masalah
Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang, maka penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut :
A.    Pengertian Hukum Perikatan
B.     Dasar Hukum Perikatan
C.     Jenis-jenis Perikatan
D.    Asas-asas dalam Hukum Perikatan
E.     Wanprestasi dan akibat-akibatnya
F.      Hapusnya Perikatan

1.3  Tujuan Penulisan
Tujuan pembuatan makalah yang berjudul “ Hukum Perikatan“ adalah
A.    Mengetahui Pengertian Hukum Perikatan
B.     Mengetahui Dasar Hukum Perikatan
C.     Mengetahui Jenis-jenis Perikatan
D.    Mengetahui Asas-asas dalam Hukum Perikatan
E.     Mengetahui Wanprestasi dan akibat-akibatnya
F.      Mengetahui Hapusnya Perikatan

1.4  Manfaat
A.    Memahami secara luas dan mendalam tentang apa pengertin Hukum Perikatan;
B.     Memahami secara luas dan mendalam tentang Asas-asas dalam Hukum Perikatan
C.     Memahami secara luas dan mendalam tentang Jenis-jenis Perikatan
D.    Memahami secara luas dan mendalam tentang dasar hukum Hukum
Perikatan;
E.     Memahami secara luas dan mendalam tentang Wanprestasi dan akibat-akibatnya
F.      Memahami secara luas dan mendalam tentang Penghapusan Perikatan








BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Istilah dan Pengertian Perikatan
   Perikatan dalam bahasa Belanda disebut“ver bintenis ”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
   Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi (personal law).
 Dalam Buku III BW yang berjudul “van Verbintenissen”, di mana istilah ini juga merupakan istilah lain yang dikenal  dalam Code Civil Perancis, istilah mana diambil dari hukum Romawi yang terkenal dengan istilah “obligation”. Istilah verbintenis dalam BW (KUHPerdata), ternyata diterjemahkan berbeda-beda dalam kepustakaan hukum Indonesia. Berkaitan dengan itu, Soetojo Prawirohamidjojo, di dalam salah satu bukunya menegaskan bahwa : “Istilah verbintenis, ada yang menterjemahkan dengan “perutangan”, perjanjian maupun dengan “perikatan”. karena masing-masing para sarjana mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam menterjemahkan dan mengartikannya, walaupun pengertian yang dimaksudkan perikatan tersebut dapat tidak terlalu jauh berbeda. Istilah perikatan dimaksud pada dasarnya berasal dari bahasa Belanda yakni “verbintenis”,  diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berbeda-beda, sebagai bukti, di dalam KUHPerdata digunakan istilah “perikatan” untuk “verbintenis”. R. Subekti, mempergunakan istilah “verbintenis” untuk perkataan     “perikatan”, demikian juga R. Setiawan, memakai istilah “perikatan” untuk “verbintenis”. Selanjutnya Utrecht, memakai istilah perutangan untuk “verbintenis”. Sebaliknya Soediman Kartohadiprodjo, mempergunakan istilah “hukum pengikatan” sebagai terjemahan dan “verbintenissenrecht, sedangkan. Sementara itu   R. Wirjono Prodjodikoro,  memakai istilah “het verbintenissenrecht” diterjemahkan sebagai “hukum perjanjian” bukan hukum perikatan, demikian juga Sri Soedewi Masjchoen Sofwan,  memakai istilah “hukum perutangan” untuk “verb intenissenrecht” .(R. Soetojo , 1979; 10)
          Dari uraian di atas, maka dapat dikatakan, bahwa untuk istilah “verbintenis” dikenal adanya tiga istilah untuk menterjemahkannya yakni; “perikatan, perutangan, dan perjanjian”, akan tetapi dalam berbagai perkuliahan di Fakultas Hukum yang ada di Indonesia, penggunaan terjemahan istilah “verbintenis” tersebut lebih cenderung menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis tersebut, demikian juga halnya dalam tulisan ini digunakan istilah perikatan untuk menterjemahkan verbintenis dimaksud. Beranjak dari uraian di atas, jika dikaitkan dengan adanya ketidak samaan pendapat tentang terjemahan istilah verbintenis tersebut, hal ini berpengaruh terhadap perumusan perikatan, karena di dalam KUHPerdata sendiri tidak ditemui pngertian perikatan secara yuridisnya, oleh karena untuk merumuskan tentang perikatan dapat dipedomani beberapa pendapat para ahlinya.
  Berkaitan dengan itu, menurut Hofmann, bahwa “perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum, sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang dari padanya (debitur atau para debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang berhak atas sikap demikian itu”. Selanjutnya Pitlo mengatakan, bahwa “perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi”. Sementara itu, menurut Abdulkadir Muhammad;.”Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara debitur dan kreditur, yang terletak dalam bidang harta kekayaan. Soediman Kartohadiprodjo, juga merumuskan perikatan tersebut dengan; “suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih,  atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi”. Demikian juga halnya, menurut R.Setiawan, bahwa  “perikatan adalah suatu hubungan hukum, yang artinya hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum. (R.Setiawan, 1994; 2).
         Dari berbagai pengertian atau rumusan perikatan sebagaimana dikemukakan para ahli di atas, dapat dikatakan, bahwa perikatan tersebut pada dasarnya merupakan hubungan hukum yang artinya hubungan yang di atur dan di akui oleh hukum, baik yang dapat dinilai dengan uang maupun tidak, yang di dalamnya terdapat paling sedikit adanya terdapat satu dan kewajiban, misalnya suatu perjanjian pada dasarnya menimbulkan atau melahirkan satu atau beberapa perikatan, keadaan ini tentu tergantung pada jenis perjanjian yang diadakan, demikian juga halnya suatu perikatan dapat saja dilahirkan karena adanya ketentuan undang-undang, dalam arti, undang-udanglah yang menegaskan, di mana dengan terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan telah melahirkan perikatan atau hubungan hukum, misalnya, dengan adanya perbuatan melanggar hukum.
  Hubungan hukum sebagaimana dimaksudkan, harus dibedakan dengan hubungan lainnya yang ada di dalam pergaulan masyarakat, seperti pergaulan yang berdasarkan etika dan kesopanan, kepatutan dan kesusilaan. Penyimpangan terhadap hubungan tersebut, tidak menimbulkan akibat hukum, misalnya; janji untuk bertemu dengan pasangan, janji untuk pergi kuliah bersama dan lain-lain yang pada dasarnya berada diluar lingkungan hukum dalam arti, hal ini bukan merupakan perikatan atau hubungan hukum.
        Melihat beberapa pengertian perikatan dan kasus di atas, maka dapat dikatakan bahwa pada dasarnya perikatan merupakan “suatu hubungan hukum antara dua pihak, di mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dan pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut. Dalam hal mi, dapat disebutkan, bahwa pihak yang menuntut disebut kreditur (pihak berpiutang) dan pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi disebut debitur (pihak berutang). Keadaan tersebut juga dapat diartikan, bahwa adanya suatu hak dan kewajiban yang harus dilakukan kreditur dan debitur tergantung dan yang diperjanjikan, di mana hak dan kewajiban kreditur dimaksudkan harus diatur oleh undang-undang, yaitu sebagai suatu tindakan untuk melakukan tuntutan terhadap pihak yang lalai dalam melaksanakan suatu prestasi atau kewajibannya. Hal ini berarti, bahwa secara sederhana perikatan diartikan sebagai suatu hal yang mengikat antara orang yang satu dengan orang yang lain. Hal yang mengikat itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli, hutang-piutang, dapat berupa kejadian, misalnya kelahiran, kematian, dapat berupa keadaan, misalnya perkarangan berdampingan, rumah bersusun, jadi peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum, dalam arti peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum.
   Dalam hubungan hukum itu tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, dan sebaliknya. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut debitur. Hal ini berarti, menurut Ridwan Syahrani, “bahwa terjadinya hubungan hukum antara dua pihak tersebut, di mana masing-masing pihak (kretidur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi itu” (Ridwan Syahrani, 1992; 203). Prestasi sebagaimana di maksudkan dapat dikatakan sebagai objeknya perikatan, yaitu sesuatu yang dituntut oleh kreditur  terhadap debitur, atau sesuatun yang wajib dipenuhi oleh debitur terhadap kreditur. Prestasi adalah harta kekayaan yang diukur atau diniali dengan uang. Yang berkewajiban membayar sejumlah uang berposisi sebagai debitur, sedangkan pihak yang berhak menerima sejumlah uang berposisi sebagai kreditur.
  Dalam hukum hutang-piutang, pihak yang berhutang disebut debitur, sedangkan pihak yang berhutang disebut kreditur. Dalam hubungan jual beli, pihak pembeli berposisi sebagai debitur, sedangkan penjual berposisi sebagai kreditur. Dalam perjanjian hibah, Pemberi hibah disebut debitur, sedangkan penerima hibah disebut kreditur. Dalam perjanjian kerja, pihak yang melakukan pekerjaan disebut kreditur, sedangkan pihak yang berkewajiban membayar upah disebut debitur.
  Dari uraian yang telah dikemukakan, pada akhirnya perlu juga dipahami tentang rumusan hukum perikatan, maka dengan melihat beberapa pengertian dan kasus yang telah dikemukakan, dapat dikatakan bahwa hukum perikatan, pada dasarnya merupakan “kesemuanya kaidah hukum atau aturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban seseorang yang bersumber pada tindakannya, baik dalam lingkungan hukum kekayaan yang dapat dinilai dengan uang maupun tidak dapat dinilai dengan uang.

2.2  Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber yaitu :
A.    Perikatan yang timbul dari persetujuan.
Contoh : Adanya jual beli karena suatu perjanjian. Suatu perjanjian dimana penjual memberikan suatu perjanjian kepada pembeli. Misalnya penjual menjual barang kepada pembeli dengan mengajukan syarat pembayaran  2/10,  n/30 , yaitu penjual member bataspembayaran sampai dengan 30 hari. Jika dalam jangka 10 hari sudah membayar maka dikenakan potongan 2%.
Perjanjian kontrak kerja yang harus disepakati oleh ke dua belah pihak.
B.     Perikatan yang timbul dari undang – undang yang dibagi lagi menjadi :
1)      perikatan yang terjadi karena undang-undang semat
Contoh : Kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anak, yaitu hukum kewarisan.
2)      perikatan yang terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
Contoh : Apabila suatu pribadi melakukan Wanprestasi, seorang yang berpiutang yang mengehendaki suatu pelaksanakan perjanjian dari seorang berhutang yang tidak memenuhi kewajibannya harus meminta perantara pengadilan. Jika prestasi yang dikehendaki tersebut berupa membayar sejumlah uang ,memang si berpiutang sudah tetolong dengan adanya pengadilan, jadi si berpiutang bisa mendapat suatu putusan dari pengadilan dengan menyita dan melelang harta benda si berhutang tersebut

C.     Perikatan terjadi bukan perjanjian    
Contoh : A menitipkan sepedanya  dengan Cuma – Cuma kepada B, maka terjadilah perikatan antara A dan B yang menimbulkan hak pada A untuk menerima kembali sepeda tersebut dan kewajiban pada B  untuk menyerahkan sepeda tersebut.
Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
A.    Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
B.     Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
C.     Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
Dalam berbagai kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-macam istilah untuk menterjemahkan verbintenis danovereenkomst, yaitu :
ü  Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Subekti dan Tjiptosudibio menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis dan persetujuan untuk overeenkomst.
ü  Utrecht dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia memakaiistilah Perutangan untukverbintenis dan perjanjian untukovereenkomst.
ü  Achmad Ichsan dalam bukunya Hukum Perdata IB, menterjemahkan verbintenis dengan perjanjian dan overeenkomst dengan persetujuan.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam bahasa Indonesia dikenal tiga istilah terjemahan bagi ”verbintenis” yaitu :
ü  Perikatan
ü  Perutangan
ü  Perjanjian
Sedangkan untuk istilah ”overeenkomst” dikenal dengan istilah terjemahan dalam bahasa Indonesia yaitu : perjanjian dan persetujuan. Untuk menentukan istilah apa yang paling tepat untuk digunakan dalam mengartikan istilah perikatan, maka perlu kiranya mengetahui makna nya. terdalam arti istilah masing-masing.Verbintenis berasal dari kata kerja verbinden yang artinya mengikat. Jadi dalam hal ini istilah verbintenis menunjuk kepada adanya ”ikatan” atau ”hubungan”. maka hal ini dapat dikatakan sesuai dengan definisiverbintenis sebagai suatu hubungan hukum. Atas pertimbangan tersebut di atas maka istilah verbintenis lebih tepat diartikan sebagai istilah perikatan. sedangkan untuk istilah overeenkomst berasal dari dari kata kerja overeenkomen yang artinya ”setuju” atau ”sepakat”. Jadiovereenkomst mengandung kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme yang dianut oleh BW. Oleh karena itu istilah terjemahannya pun harus dapat mencerminkan asas kata sepakat tersebut. Berdasarkan uraian di atas maka istilahovereenkomst lebih tepat digunakan untuk mengartikan istilah persetujuan.
2.3  Jenis-Jenis Perikatan
A.    Perikatan bersyarat
Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan yang digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadinya, baik dengan menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadinya peristiwa, maupun dengan membatalkan  perikatan karena terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut (pasal 1253 KUH Perdata). Dari ketentuan pasal ini dapat dibedakan dua perikatan bersyarat yaitu periktan dengan syarat batal dan periktan dengan syarat tangguh:
1)      Perikatan dengan syarat  tangguh; Apabila syarat “peristiwa” yang diamksudkan dengan itu terjadi, maka perikatan dilaksanakan (pasal 1263 KUHPdt). Jadi, sejak peristiwa itu terjadi, kewajiban dibitur untuk berprestasi segera dilaksanakan. Misalnya A setuju apabila B adiknya paviliun rumahnya, setelah B kawin. Kawin adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadi. Sifatnya menangguhkan pelaksanaan perikatan. Jika B kawin, maka A berkewajiban menyerahkan paviliun rumahnya untuk didiami oleh B.
2)      Perikatan dengan syarat batal; Disamping perikatan yang sudah ada akan berakhir apabila “peristiwa” yang dimaksudkan itu terjadi (pasal 1265 KUH Perdata). Misalnya A setuju apabila B mendiami rumah milik A selama ia belajar di luar negeri, dengan syarat bahwa B harus mengosongkan rumah tersebut apabila A selasai studi dan kembali ke tanah air. Di sini syarat “selesai dan kembali ke tanah air” masih akan terjadi dan belum belum pasti terjadi. Tetapi jika syarat tersebut terjadi perjanjian berakhir dalam arti batal. Hal ini membawa konsekwensi bahwa segala sesuatu dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak ada perikatan. Dalam contoh di atas B berkewajiban menyerahkan kembali rumah tersebut kepada A.
Batalnya perikatan itu bukanlah “batal demi hukum”, melainkan “dinyatakan batal” oleh hakim. Jadi, jika syarat batal itu dipenuhi , maka pernyataan batal harus dimintakan kepada hakim., tidak cukup dengan permintaan salah satu pihak saja, atau pernyataan kedua belah pihak, meskipun syarat batal itu dicantumkkan dalam perikatan (pasal 1266 KUHPerdata)

B.      Perikatan dengan Ketetapan Waktu
Suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya. Maksud syarat “Ketetapan waktu” ialah pelaksanaan perikatan itu digantungkan pada” waktu yang ditetapkan”. Waktu yang       ditetapkanadalah peristiwa yang masih akan terjadi dan terjadinya itu sudah pasti, atau dapat berupa tanggal yang sudah ditetapkan. Misalnya  A berjanji kepada anak perempuannya yang telah kawin itu untuk memberikan rumahnya, apabila bayi yang sedang dikandungnya lahir. Disini “kelahiran” adalah   peristiwa yang masih akan terjadi dan terjadinya itu sudah pasti. Tentu saja berdasarkan pemeriksaan dokter, anak itu lahir hidup. Contoh lain, A berjanji kepada B, bahwa ia akan membayar hutangnya dengan hasil panen sawahnya yang sedang menguning. Dalam hal ini “hasil panen yang sedang menguning” sudah pasti, karna dalam waktu dekat A. Akan panen sawah, sehingga pembayaran hutang sudah pasti.
Dalam perikatan dengan ketetapan waktu, apayang harus dibayar pada waktu yang ditentukan tidak dapat ditagih  sebelum waktu itu tiba . Tetapi apa yang sudah dibayar sebelum waktu itu tibe dapat diminta kembali (pasal 1269 KUH Perdata).
Dalam perikatan perikatan dengan ketetapan waktu ketetapan waktu selalu dianggap dibuat untuk kepentingan debitur, kecuali jika dari sifat perikatannya sendiri, atau dari keadaan ternyata bahwa ketetapan waktu itu telah dibuat untuk kepentinagn kreditur (pasal 1270 KUH Perdata).  Biasanya kepentingan kreditur itu ditetapkan dalam perjanjian atau dalam akta.

C.     Perikatan manasuka (boleh pilih)
Dalam Perikatan Manasuka, objek prestasi ada dua macam benda. Dikatakan perikatan manasuka, karena debitur telah memenuhi prestasi dengan memilih salah satu dari dua benda yang dijadikan objek perikatan. Tetapi debitur tidak dapat memaksa kreditur untuk menerima benda yang satu dan sebagian benda yang lainnya. Jika debitur telah memenuhi salah satu dari dua benda yang didsebutkan dalam perikatan, yang dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak memilih prestasi itu ada pada debitur, jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada kreditur (pasal 1272 dan 1273 KUH Perdata). Misalnya, A memesan barang elektronik berupa stereo tape rekorder pada sebuah toko barang elektronik dengan harga yang sama yaitu Rp 75.000. Dalam hal ini pedangang tersebut dapat memilih, menyerahkan strereo tape rekorder. Tetapi jika diperjanjikan bahwa A yang menentukan pilihan, maka pedagang memberitahukan kepda A bahwa barang pesanan sudah tiba, silakan A memilih  salah satu diantara dua benda objek  perikatan itu. JIka A telah memilih dan dan memerima dari salah satu benda itu, perikatan berakhir.
Jika salah satu benda yang menjadi objek perikatan itu hilang atau tidak dapat diserahkan atau musnah, maka perikatan itu menjadi murni dan bersyahaja. Jika kedua benda itu hilang dan debitur bersalah tentang hilangnya salah satu benda itu, debitur harus membayar harga benda yang hilang paling akhir (pasal 1274 dan 1275 KUH Perdata).
Jika hak memilih ada pada kreditur dan hanya salah satu benda saja yang hilang, maka jika itu terjadi bukan karena kesalahan debitur, kreditur harus memperoleh benda yang masih ada. Jika salah satu benda tadi terjadi karena kesalhan debitur, maka kreditur boleh menuntut pembayaran harga salah satu menurut pilihannya, apabila musnahnya salah satu benda atau kedua benda itu karena kesalahan debitur (pasal 1276 KUH Perdata). Prinsip dasar di atas ini berlaku, baik jika ada lebih dari dua benda terdapat dalam perikatan maupun jika perikatan bertujuan melakukan suatu perbuatan (pasal 1277 KUH perdata). Melakukan perbuatan, misalnya dalam perikatan mengerjakan bangunan dan melakukan pengangkutan barang. Disini debitur boleh memilih mengerjakan bangunan atau melakukan pengangkutan barang ke lokasi bangunan.
Selain dari perikatan manasuka (alternatif), ada lagi yang disebut perikatan fakultatif, yaitu perikatan dengan mana debitur wajib memenuhi suatu prestasi tertentu atau prestasi lain yang tertentu pula. Dalam perikatan ini hanya ada satu objek saja. Apabila debitur tidak memenuhi prstasi itu, ia dapat menganti dengan prestasi lain. Misalnya A berjanji kepada B untuk meminjamkan kendaraannya guna       melaksankan penelitian. Jika A tidak mungkin meminjamkan kendaraannya karena rusak, ia dapat menganti dengan sejumlah uang biaya transportasi penelitian itu. Perbedaan antara perikatan alternatif dengan perikatan fakultatif adalah sebagai berikut :
1)      Pada perikatan alternatif ada dua benda yang sejajar dan debitur harus menyerahkan salah satu dari dua benda itu. Sedangkan pada perikatan fakultatif hanya satu benda saja yang menjadi prestasi.
2)      Pada perikatan alternatif jika benda yanmg satu hilang, benda yang lain menjadi penggantinya. Sedangkan pada perikatan fakultatif jika bendanya binasa. perutangan menjadi lenyap.
Adalagi yang disebut perikatan generik, yang objeknya dutentukan oleh jenisnya, misalnya beras Cianjur, Kuda Nil. Perbedaannya dengan perikatan alternatif ialah jika periktan generik objeknya ditentukan oleh jenisnya yang homogin. Sedangkan pada perikatan alternatif objeknya ditentukan oleh jenisnya yany tidak homogen. Keberatan perikatan generik ialah debitur tidak perlu memberikan benda prestasi itu yang terbaik, tetapi tidak juga yang terburuk (pasal 969 KUH Perdata). Benda yang menjadi objek perikatan generik itu cukuplah jika sekurang-kurangnya dapat ditentukan (perhatikan pasal 1333 KUH Perdata.
D.    Perikatan Tanggung Menanggung
Dalam perikatan tangung menanggung dapat terjadi seseorang debitur berhadapan dengan beberapa orang kreditur, atau seorang kreditur berdapan dengan beberapa orang debitur. Apabila kreditur terdiri dari beberapa orang, ini disebut tanggung-menanggung aktif. Dalam hal ini setiap kreditur barhak atas pemenuhan prestasi selurauh hutang, dan jika prestasi tersebut sudah dipenuhi, debitur dibebaskan dari hutangnya dan perikatan hapus (pasal 1278 KUH Perdata).
Dalam hubungan eksteren antara debitur masing-masing dengan kreditur, apabila dalam suatu perikatan harus  diserahkan suatu benda, yang kemudian musnah karena kesalahan seseorang dari pihak debitur, maka pihak debitur lainnya tidak dibebaskan dari tanggung jawabterhadap kreditur untuk membayar benda yang musnah tersebut. Kreditur yang menderita kerugian karena salahnya debitur hanya berhak menuntut ganti kerugian terhadap debitur yang bersalah itu (pasal 1285 KUH Perdata). Demikian pula dengan tuntutan pembayaran bunga yang dilakukan terhadap salah satu debitur tanggung-menanggung, berlaku juga terhadap debitur-debitur lainnya (pasal 1286).
Jika diantara debitur tangung-menanggung itu ada hubungan hukum yang lain dengan kreditur atau mempunyai kedudukan yang istimewa terhadap kreditur, maka hubungan hukum tersebut harus dipisahkan dari hubungan hukum tanggung-menaggung itu. Debitur yang bersangkutan dapat menggunakan hak tangkisannya, sedangkan debitur yang lainnya tidak (pasal 1287 KUH Perdata). Jika seorang debitur menjadi ahli waris dari kreditur, perikatan antara keduanya itu menjadi lenyap (pasal 1288 KUH Perdata).
Adakalanya juga seorang kreditur menerima sari salah seorang debitur bagian yang menjadi kewajibannya. Jika hal ini terjadi, kewajiban tanggung-menanggung terhadap debitur lainnya tetap ada, kecuali kreditur secara tegas menyatakan bahwa yang diterimanya itu untuk bagian keweajiban debitur itu (perhatikan pasal 1289.1290 dan 1291 KUH perdata). Dalam Peraktek terkadang jenis perikatan ini juga terjadi, di mana perikatan tanggung-menanggung pasif, pihak kreditur lebih merasa terjamin atas pemenuhan perikatannya. Perikatan tanggung-menanggung pasif dapat terjadi karena :
1)      Wasiat, apabila pewaris memberikan tugas untuk melaksanakan suatu legaat (hibah wasiat) kepada ahli warisnya secara tanggung-menanggung;
2)      Ketentuan undang-undang, dalam hal ini undang-undang menetapkan secara tegas perikatan tanggung-menaggung dalam perjanjian khusus.
Perikatan tanggung-menanggung yang secara tegas diatur dalam perjanjian khusus itu adalah sebagai berikut :
1)      Persekutuan dengan Firma (pasal 18 KUHD), di mana setiap sekutu bertanggung jawab secara tanggung-menanggung untuk  seluruhnya atas semua perikatan Firma;
2)      Peminjaman barang (pasal 1749 KUH Perdata), jika beberapa orang bersama-sama menerima suatu barang dalam peminjaman, mereka itu masing-masing untuk seluruhnya bertanggung jawab terhadap orang yang memberikan       pinjaman;
3)      Pemberian kuasa (pasal 1181 KUH Perdata), seorang penerima kuasa diangkat oleh beberapa orang untuk mewakili dalam suatu urusan yang menjadi urusan mereka bersama, mereka bertanggung jawab untuk seluruhnya terhadap penerima kuasa mengenai segala akibat pemberian kuasa itu;
4)      Jaminan orang (borgtocht, pasal 1836 KUH Perdata), jika beberapa orang telah mengikatkan dirinya sebagai penjamin seorang debitur yang sama untuk hutang yang sama, mereka itu masing-masing terikat untuk seluruh hutang.

E.     Perikatan Dapat dan Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dikatakan dapat atau tidak dapat dapat dibagi, apabila benda yang menjadi objek perikatan dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan, lagi pula pembagian itu tidak boleh mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Jadi sifat dapat atau tidak dapat dibagi itu didasarkan pada :
1)      Sifat benda yang menjadi objek perikatan.
2)      Maksud perikatannya, apakah itu dapat atau tidak dapat dibagi.
Persolan dapat atau tidak dapat dibagi itu mempunyai arti, apabila dalam perikatan itu terdapat lebih seorang debitur atau lebih dari seorang kreditur. Jika hanya seorang debitur saja, dalam perikatan itu maka perikatan itu dianggap sebagai tidak dapat dibagi, meskipun prestasinya dapat dibagi. Menurut ketentuan pasal 1360 KUH Perdata, tak seorang debitur pun dapat memaksa kreditur menerima pem bayaran hutangnya sebagian-demi sebagaian, meskipunhutang itu dapat dibagi-bagi.
Perikatan dapat atau tidak dapat dibagi dapat terjadi apabila salah satu pihak meninggal dunia, sehingga timbul persoalan apakah pemenuhan prestasi dapat dibagi atau tidak antara para ahli waris almarhum itu. Hal ini tergantung dari benda yang menjadi objek perikatan yang penyerahan atau perbuatan pelaksanaannya dapat dibagi atau tidak, baik secara nyata maupun secara perhitungan (pasal 1296 KUH Perdata). Akibat hukum perikatan dapat atau tidak dapat dibagi ialah, bahwa dalam perikatan yang tidak dapat dibagi, setiap kreditur berhak menuntut seluruh prestasi pada setiap  debitur, dan setiap debitur wajib memenuhi prestasi tersebut seluruhnya. Dengan dipenuhi prestasi oleh seorang debitur, membebaskan debitur lainnya dan perikatan menjadi hapus. Dalam perikatan yang dapat dibagi setiap kreditur hanya berhak menuntut suatu baguian prestasi menurut perimbangannya, sedangkan setiap debitur wajib memenuhi prestasi untuk bagiannya saja menurut perimbangan.
F.      Perikatan dengan Ancaman Hukuman
Perikatan ini membuat suatu ancaman hukuman terhadap debitur apabila ia lalai memenuhi prestasinnya. Ancaman hukuman ini bermaksud untuk memberikan suatu kepastian atau pelaksanaan isi perikatan seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak. Disamping itu juga sebagai usaha untuk menetapkan jumlah ganti kerugian jika betul-betul terjadi wanprestasi. Hukuman itu merupakan suatu dorongan bagi debitur untuk memenuhi kewajiban berprestasi dan untuk membebaskan kreditur dari pembuktian tentang besarenya ganti kerugian yang telah dideritanya.
Menurut ketentuan pasal 1304 KUH Perdata, ancaman hukuman itu ialah, melakukan sesuatu apabila periktan tidak dipenuhi, sedangkan penetapan hukuman itu ialah sebagai ganti kerugian karena tidak dipenuhinya prestasi (pasal 1307 KUH Perdata). Ganti kerugian selalu berupa uang. denbgan demikian dapat disimpulkan bahwa ancaman hukuman itu berupa ancamam pembayaram denda. Pembayaran denda sebagai ganti kerugian tidak dapat dituntut oleh kreditur apabila tidak berprestasi debitur itu, karena adanya kedaan memaksa (overmacht). Misalnya dalam perjanjian dengan ancaman hukuman, apabila seorang pemborong bangunan dalam waktu 30 hari, tidak menyelesaikan pekerjaan nya ia dikenekan denda Rp50.000,- setiap hati keterlambatan. Dalam hal ini jika pemborong tadi melalaikan kewajibannya berarti ia harus membayar denda sebesar Rp 50.000,- sebagai ganti kerugian setiaop hari keterlambatan.
Dalam menentapkan denda   sebagai ganti kerugian itu mungkin jumlahnya terlalu tinggi. Menrut ketentuan pasal 1309 KIH Perdata. hUkuman dapat diubah dengan hakim, jika perikatan pokok telah dipenuhi sebagian. Tetapi jika debitur belum sama sekali melaukan kewajibanya sedangakan hukuman yang ditetpkan terlalui tinggi, Hakimpun dapat menggunakan pasal 1338 KUHPpd bahwa perjanjian yang dibuat dengan syah harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pervormence in good faith).
Ancaman hukuman dalam perikatan ini bersifat asesor (pelengkap), artinya adanya hukuman tergantung adanyan  perikatan pokok. Batalnya perikatan pokok mengakibatkan batalnya ancaman hukuman. Tetapi batalnya ancaman hukuman tidak membewa batalnya perikatan pokok (pasal 1305 KUHpt

2.4  Asas-asas Hukum Perikatan
A.    Asas kebebasan berkontrak
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPdt). Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1)      Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2)      Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3)      Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4)      Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de homme par l’homme.
B.     Asas Konsesualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPdt adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.
C.      Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.
D.    Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi (relative) dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
E.     Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPdt. Pasal 1315 KUHPdt menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.

2.5  Prestasi dan Wanprestasi
A.    Prestasi
Prestasi adalah yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitur. Dalam pasal 1131 KUH Perdata dinyatakan bahwa semua harta kekayaan debitur baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditur. Tetapi jaminan umum ini dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam perjanjian antara pihak-pihak.
Menurut ketentuan pasal 1234 KUH Perdata ada tiga kemungkinan wujud prestasi, yaitu (a) memberikan sesuatu, (b) berbuat sesuatu, (c) tidak berbuat sesuatu. Dalam pasal 1235 ayat 1 KUH Perdata pengertian memberikan sesuatu adalah menyerahkan kekuasaan nyata atas suatu benda dari debitur kepada kreditur, misalnya dalam jual beli , sewa-menyewa, hibah, perjanjian gadai, hutang-piutang.
Dalam perikatan yang objeknya “berbuat sesuatu”, debitur wajib melakukan perbuatan tertentu yang telah ditentukan dalam perikatan, misalnya melakukan perbuatan membongkar tembok, mengosongkan rumah, membangun gedung. Dalam melakukan perbuatan itu debitur harus mematuhi semua ketentuan dalam perikatan. Debitur bertanggung jawab atas perbuatnnya yang tidak sesuai dengan ketentuan perikatan.
Dalam perikatan yang objekbnya “tidak berbuat sesuatu”, debitur tidak melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya tisdak melakukan persaingan yang telah diperjanjikan, tidak membuat tembok yang tingginya yang menghalangi pemandangan tetangganya. Apabila debitur berlawanan dengan periktan ini, ia bertanggung jawab karena   melanggar perjanjian.
1)      Sifat prestasi
Prestasi adalah objek perikatan. Supaya objek itu dapat dicapai, dalam arti dipenuhi oleh debitur, maka perlu  diketahui sifat-sifatnya, yaitu:
a.       Harus sudah ditentukan atau dapat ditentukan. Hal ini memungkinkan debitur memenuhi perikatan. Jika prestasi itu tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan             mengakibatkan perikatan batal (niegtig);
b.      Harus mingkin, artinya artinya prestasi itu dapat dipenuhi oleh debitur secara wajar dengan segala  usahanya, jika tidak demikian perikatan batal (nietig);
c.       Harus diperbolehkan (halal), artinya tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, Jika prestasi itu tidak halal, perikatan batal (niegtig).
d.      Harus ada manpfaat bagi kreditur, artinya kreditur dapat menggunakan, menikmati, dan mengambil hasilnya. Jika tidak demikian, perikatan dapat dibatalkan (verniegtigbaar).
e.       Terdiri dari satu perbuatan atau serentetan perbuatan. Jika prestasi itu berupa satu kali perbuatan dilakukan lebih dari satu kali dapat mengakibatkan pembatalan perikatan (vernietigbaar).

B.     Wanprestasi
Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu:
1)      Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhinya kewajiban maupun karena kelalaian.
2)      Karena keadaan memaksa (overmacht), force mejeure, jadi di luar kemampuan debitur. Debitur tidak bersalah.
Untuk menentukan apakah seorang debitur bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan sangaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Ada tiga keadaan, yaitu:
1)      debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali,
2)      debitur memenuhi prestasi, tetapi tetapi tidak baik atau keliru,
3)      debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.
Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perkataan itu ditentukan tanggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan        prestasi “tidak ditentukan”, perlu memperingatkan debitur sepaya ia memenuhi prestasi. Tetapi dalam hal telah ditentukan tanggang waktunya, menurut ketentuan pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan.
Bagaimana cara memperingatkan debitur agar ia memenuhi prestasinya? Debitur perlu diberi peringatan tertulis, yang isinya menyatakan bahwa debitur wajib memenuhi prestasi dalam waktu yang ditentukan. Jika dalam waktu itu debitur tidak memenuhinya, debitur dinyatakan telah lalai atau wanprestasi. Peringatan tertulis dapat dilakukan secara resmi dan dapat juga secara tidak resmi. Peringatan tertulis secara resmi dilakukan melalui Pengdilan Negeri yang berwenang, yang disebut “somatie”. Kemudian Pengadilan Negeri melalui perantaraan Jurusita menyampaikan surat peringatan tersebut kepada debitur, yang disertai berita acara penyampaiannya. Peringatan tertulis tidak resmi misalnya melalui suart tercatat, telegram, atau disampaikan sendiri oleh kreditur kepada debiotur dengan tanda terima. Surat peringatan disebut “ingebreke stelling”.
Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau saksi hukum berikut ini:
1)      Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (pasal 1243 KUH Perdata);
2)      Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut pemutusan/pembatalan perikatan melalui Hakim (pasal 1266 KUH Perdata);
3)      Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko berlaih kepada debitur sejak terjadi wanprestasi (pasal 1237  ayat 2);
4)      Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (pasal 1267 KUH Perdata);
5)      Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka Pengadilan Negeri, dan debitur dinyatakan bersalah;
6)      Keadaan Mamaksa (overmacht).
Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dipenuhinya prestasi oleh debitur karena peristiwa yang yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi ketika membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa, debitur tidak dapat dipersalahkan, karena keadaan ini timbul diluar kemauan dan kemampuan debitur. Unsur-unsur keadaan memaksa adalah sebagai berikut:
1)      Tidak  dipenuhinya  prestasi   karena   terjadi   peristiwa    yang     membinasakan/ memutuskan benda objek perikatan; atau
2)      Tidak dipenuhinya prestasi karena terjadi peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprstasi;
3)      Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.
Dalam hal ini keadaan memaksa yang memenuhi unsur satu dan tiga, maka keadaan memaksa ini disebut “keadaan memaksa objektif”. Vollmar menyebutnya dengan absolute overmacht. Dasarnya ialah ketidakmungkinan (impossibility) memenuhi prestasi, karena bendanya lenyap/musnah. Misalnya jual beli lukisan karapan sapi karya Afandi, ketika akan diserahkan kepada pembeli di sebuah hotel, lukisan tersebut terbakar habis bersama-sama mobil yang membawanya karena kecelakaan lalu lintas. Peristiwwa ini mengakhiri perikatan karena tidak mungkin dapat dipenuhi oleh debitur.
Dalam hal terjadinya keadaan memaksa yang memenuhi unsur dua dan tiga, keadaan memaksa ini disebut “keadaan memaksa yang subjektif”. Vollmar menyebutnya dengan relative overmacht. Dasarnya ialah kesulitan memenuhi prestasi, karena ada peristiwa yang menghalagi debitur untuk berbuat. Misalnya seorang mahasiswa membeli sebuah mesin tik dari seorang pedagang, yang disanggupi untuk dikirimkan dalam waktu satu minggu. Kemungkinan kapal yang mengangkut benda itu membentur karang, sehingga harus masuk dok untuk   perbaikan. Di sini debitur mengalami kesulitan memenuhi prestasi.
Dalam peristiwa ini debitur bukannya tidak mungkin memenuhi prestasi, tetapi sulit memenuhi prestasi, bahkan kalau dipenuhi juga memerlukan waktu dan biaya yang banyak. Keadaan memaksa dalam hal ini bersifat sementara. Perikatan tidak berhenti (tidak batal) hanya pemenuhan prestasinya tertunda. Jika kesulitan sudah tidak ada lagi pemenuhan prestasi diteruskan. Tetapi jika prestasi itu sudah tidak berarti lagi bagi kreditur karena sudah tidak diperlukan lagi, maka perikatan “gugur” (verbal).
Perbedaan antara perikatan batal dengan perikatan gugur terletak pada ada tidaknya objek perikatan dan objek tersebut harus mungkin dipenuhi. Pada perikatan batal, objek perikatan tidak ada karena musnah, sehingga tidak mungkin dipenuhi oleh debitur (sifat prestasi). Sedangkan pada perikatan gugur, objek perikatan ada, sehingga mungkin dipenuhidengan segala macam usaha debitur, tetapi tidak mempunyai arti lagi bagi kreditur. Jika prestasi betul-betul dipenuhi oleh debitur, tetapi kreditur tidak menerima karena tidak ada arti     (manfaat) lagi, perikatan “dapat  dibatalkan” (vernietigbaar). Persamaannya ialah pada perikatan batal, gugur, keduanya itu tidak memcapai tujuan.
Dalam KUH Perdata keadaan mamaksa tidak diatur secara umum, melainkan secara khusus pada perjanjian-perjanjian tertentu saja, misalnya pasal 1237 KUH Perdata perjanjian sepihak, pasal 1460 KUH Perdata perjanjian jual beli, pasal 1545 KUH Perdata perjanjian tukar menukar, pasal 1553 KUH Perdata perjanjian sewa-meyewa, Karena itu, pihak-pihak bebas memperjanjikan tanggung jawab itu dalam perjanjian yang mereka buat, apabila terjadi keadaan memaksa.
Dalam keadaan memaksa pada perjanjian hibah, resiko ditanggung oleh kreditur (pasal 1237 KUH Perdata). Pada perjanjian jula beli, resiko ditanggung oleh kedua belah pihak (SEMA. No. 3 tahun 1963 mengenai pasal 1460 KUH      Perdata). Pada perjanjian tukar menukar, resiko ditanggung oleh pemiliknya (pasal 1545 KUH Perdata). Pada perjanjian sewa-meyewa, resiko ditanggung oleh pemilik benda (pasal 1553 KUH Perdata).
2.6  Hapusnya perikatan
Menurut ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada sepuluh caranya hapusnya perikatan yaitu :
A.    Pembayaran
Pembayaran disini tidak saja meliputi penyerahan sejumlah  uang melainkan juga penyerahan suatu benda. Dengan kata lain perikatan berakhir karen pembayaran dan peneyerahan benda. Jadi dalam hal objek perikatan adalah sejumlah uang maka perikatan berakhir dengan pembayaran uang. Dalam hal perikatan adalah suatu benda, maka perikatan berakhir setelah penyerahan benda. Dalam hal objek perikatan adalah pebayaran uang dan penyerahan benda secra timbl balik, perikatan baru berakhir setelah pembayaran dan penyerahan benda.

B.     Penawaran pembayaran tunai diikuti penitipan
Apabila debitur telah melakukan penawaran pembayaran dengan perantara Notaris dan atau jurusita, kemudian kreditur menolak penawaran tersebut, atas penolakan kreditur itu kemudian debitur meniptipkan pembayaran itu kepada Panitra pengadilan Negeri setempat untu disimpan. Dengan demikian perikatan menjadi hapus (pasal1404 KUHpd). Supaya penawaran pembayaran itu sah, perlu dipenuhi syarat-syarat :
1)      Dilakukan kepada kreditur atau kuasanya;
2)      Dilakukan oleh debitur yang wenang membayar;
3)      Mengenai semua uang pokok, bunga, biaya yang telah  ditetapkan;
4)      Waktu yang ditetapkan telah tiba;
5)      Syarat  dengan mana utang dibuat, telah dipenuhi;
6)      Penawaran pembayaran dilakukan di tempat yang telah disetujui;
7)      Penawaran pembayaran dilakukan oleh Notaris atau Jurusita disertai oleh dua orang sakasi.

C.     Pembaharuan hutang (novasi)
Pembaharuan hutang terjadi dengan jalan mengganti hutang lama dengan hutang baru, debitur lama dengan debitur baru , dan kreditur lama dengan kreditur baru. Dalam hal hutang lama diganti dengan hutang baru terjadi penggantian objek perjanjian (novasi objek), di sini hutang lama lenyap. Dalam hal terjadi penggantian orangnya (subjeknya), maka jika diganti debiturnya, pembaharuan ini disebut “novasi subjek pasif”. Jika yang diganti itu krediturnya, pembahruan itu disebut “novasi subjek aktif”.  Dalam hal ini hutang lama lenyap.

D.     Perjumpaan hutang (kompensasi)
Dikatakan ada perjumpaan hutang apabila hutang piutang debitur dan krteditur secara timbal balik dilakukan perhitungan. Dengan perhitunganini hutang piutang lama lenyap. Misalanya A mempunyai hutang Rp 25.000.000,- pada B. Sebaliknya B punya hutang pada A sejumlah Rp 50.000.000,-. Setelah diperhitungkan, ternyata B masih mempunyai hutang pada A Rp 25.000.000,-. Supaya hutang itu dapat diperjumpakan, perlu dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)      berupa sejumlah uang atau benda yang dapat dihabiskan;
2)      hutang itu harus sudah dapat ditagih;
3)      hutang itu seketiga dapat ditentukan atau ditetapkan jumlahnya (pasal 1427 KUHPdt).
Setiap hutang apa pun sebabnya dapat diperjumpakan, kecuali dalam hal berikut ini;
1)      apabila dituntut pengembalian suatu benda yang secara melawan hukum dirampas dari pemiliknya, misalanya dengan pencurian;
2)      apabila dituntut pengambalian barang sesuatu yang  dititipkan atau dipinjamkan;
3)      terhadap suatu hutang yang bersumberkan pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tidak dapat disita (pasal 1429 KUH perdata). Selain itu yurisprudensi juga   menetapkan bahwa perjumpaan hutang berikut ini tidak       mungkin, yaitu ;
a.       hutang-hutang negara berupa pajak
b.      hutang-hutang yang timbul dari periktan wajar.

E.     Percampuran Hutang
Menurut ketentuan pasal 1436 KUH Perdata, percampuran hutang itu terjadi apabila kedudukan kreditur dan debitur itu menjadi satu, artinya berada dalam satu tangan. percampuran hutang tersebut terjadi dami hukum. Dalam  percampuran hutang ini hutang piutang menjadi lenyap.” Percampuran hutang itu terjaadi misalnya A sebagai ahli waris mempunyai hutang pada B sebagai pewaris. Kemudian B meninggal dunia dan A menerima warisan termasuk juga hutang atas dirinya sendiri. Dalam hal ini hutang lenyap demihukum.

F.      Pembebasan Hutang
Pembebasan hutang dapat terjadi apabila kreditur dengan tegas menyatakan tidak menhendaki lagi prestasi dari debitur dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perikatan. Denmgan pembebasan ini perikatan menjadi lenyap atau hapus. Menurut pasal 1438 KUH Perdata, pembebasan tidak boleh berdasarkan persangkaan, melainkan haruss dibuktikan. Bukti tersebut dapat digunakan, misalnya dengan pengembalian surat piutang asli oleh kreditur kepada debitur secara sukarela (pasal 1439 KUH Perdata).

G.    Musnahnya Benda yang Terhutang
Menurut ketentuan pasal 1444 KUH perdata, apabila benda tertentu yang menjadi objek perikatan itu musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, di luar kesalahan debitur dan sebelumnya ia lalai menyerahkan nya pada waktu yang telah ditentukan, maka perikatannya memnjadi hapus. Tetapi bagi mereka yang memperoleh benda itu secara tidak sah, misalnya karena pencurian, mka musnahnya atau hilangnya benda itu tidak membebaskan debitur (orang yang mencurinya) untuk mengganti harganya. Meskipun debitur lalai menyerahkan benda itu, ia pun akan bebas dari perikatan itu, apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya atau musnahnya benda itu disebabkan oleh suatu kejadian di luar kekuasaannya dan benda itumjuga akan menemui nasib yang sama, meskipun sudah berada di tangan kreditur.

H.     Karena Pembatalan
Dalam pasal 1446 KUH Perdata ditegaskan bahwa hanyalah menganai soal pembatalan saja dan tidak mengenai kebatalannya, karena syarat-syarat untuk batal yang disebutkan itu adalah syarat-syarat subjektif yang  ditentukan dalam pasal 1320 KUH Perdata. Jika syarat-syarat subjektif tidak dipenuhi, maka perikatan itu tidak batal, melainkan “dapat dibatalan” (vernitigbaar, voidable).
Perikatan yang tidak memenuhi syarat-syarat subjektif dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim dengan dua cara yaitu :
1)      Dengan cara aktif, yaitu meneuntut pembatalan kepada Hakim dengan mengajukan gugatan;
2)      Dengan cara pembelaan, yaitu menunggu sampai digugat dimuka Hakim untuk memenuhi perikatan dan baru diajukan alasan kekurangan dari perikatan itu.
Sementara itu, untuk pembatalan secara aktif, undang-undang memeberikan pembatasan waktu yaitu lima tahun (pasal 1445 KUHPdt). Sedangkan pembatalan untuk pembelaan tidak diadakan pembatasan waktu waktu.
I.        Berlaku syarat batal
Maksud dengan syarat disini adalah ketentuan perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat manajika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal (neitig, void), sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut “syarata batal”. Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan.

J.       Lampau waktu (daluarsa)
Menurut ketentuan pasal 1956 BW, “lampau waktu adalah alat untuk memperoleh sesuatu (acquissitieve verjaring) atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang” (extintieve verjaring).


BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang Hukum Waris ( law of succession ) serta dalam bidang Hukum pribadi ( personal law ).

3.2  Saran
Saya menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun akan perbaikan makalah Saya ini, dengan senang hati dan terbuka dari saya menerima kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata penyusun makalah mengharapkan agar makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya dan untuk diterapkan dalam kehidupan sehar-hari.









3.3  Daftar Pustaka


semoga bermanfaat :)























Tidak ada komentar:

Posting Komentar