MAKALAH
HUKUM PERIKATAN
DOSEN
PENGAJAR :
ERMAWATI
PUSPITASARI, SH
Di
Susun Oleh :
Lutfi
Saputra
NIM. 130400038641
Semester III (tiga) Reguler C kelas B
NIM. 130400038641
Semester III (tiga) Reguler C kelas B
UNIVERSITAS
KAPUAS SINTANG
FAKULTAS
HUKUM
2014
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb
Dengan
memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa saya dapat menyelesaikan
tugas pembuatan makalah yang berjudul “Hukum Perikatan” dengan lancar. Diharapkan Makalah ini dapat
memberikan informasi kepada kita semua dan dapat di jadikan sebagai bahan
ajaran yang bermanfaat.
Akhir
kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya pada
umumnya, dan semoga bermanfaat bagi saya sendiri sebagai penulis, saya menyadari
bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna untuk itu saya akan
menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan kearah
kesempurnaan. Akhir kata penulis sampaikan terimakasih.
Waalaikum
salam wr. wb
Sintang,
04 November 2014
Lutfi
Saputra
DAFTAR ISI
Judul .......................................................................................................................
i
Kata Pengantar ..................................................................................................... ii
Daftar Isi ............................................................................................................... iii
Kata Pengantar ..................................................................................................... ii
Daftar Isi ............................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
...........................................................................................
1
1.2 Rumusan
Masalah ......................................................................................
1
1.3 Tujuan
.........................................................................................................
1
1.4 Manfaat
.......................................................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Istilah dan Pengertian Perikatan
................................................................ 3
2.2 Dasar Hukum Perikatan .............................................................................
7
2.3 Jenis-Jenis Perikatan .................................................................................
9
2.4 Asas-asas Hukum Perikatan
..................................................................... 17
2.5 Prestasi dan Wanprestasi
.......................................................................... 20
2.6 Hapusnya perikatan
..................................................................................
25
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
..............................................................................................
30
3.2 Saran
........................................................................................................
30
3.3 Daftar
Pustaka ..........................................................................................
31
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam
lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu
berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum
dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibathukum, akibat hukum dari suatu
perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Di dalam hukum
perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada
perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan
undang-undang atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak,
dengan syarat kebebasan berkontrak harushalal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana
yang telah diatur dalam Undang-undang. Di dalam perikatan ada perikatan untuk
berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan
untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yangsifatnya positif, halal,
tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan
untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang
telahdisepakati dalam perjanjian.
1.2 Rumusan Masalah
Seperti yang telah diuraikan pada
latar belakang, maka penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut :
A. Pengertian Hukum Perikatan
B. Dasar Hukum Perikatan
C. Jenis-jenis Perikatan
D. Asas-asas dalam Hukum Perikatan
E. Wanprestasi dan akibat-akibatnya
F. Hapusnya Perikatan
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan
pembuatan makalah yang berjudul “ Hukum Perikatan“ adalah
A. Mengetahui Pengertian Hukum Perikatan
B. Mengetahui Dasar Hukum Perikatan
C. Mengetahui Jenis-jenis Perikatan
D. Mengetahui Asas-asas dalam Hukum Perikatan
E. Mengetahui Wanprestasi dan akibat-akibatnya
F. Mengetahui Hapusnya Perikatan
1.4 Manfaat
A. Memahami
secara luas dan mendalam tentang apa pengertin Hukum Perikatan;
B. Memahami
secara luas dan mendalam tentang Asas-asas dalam Hukum Perikatan
C. Memahami
secara luas dan mendalam tentang Jenis-jenis
Perikatan
D. Memahami
secara luas dan mendalam tentang dasar hukum Hukum
Perikatan;
E. Memahami
secara luas dan mendalam tentang
Wanprestasi dan akibat-akibatnya
F. Memahami
secara luas dan mendalam tentang Penghapusan
Perikatan
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Istilah dan Pengertian
Perikatan
Perikatan
dalam bahasa Belanda disebut“ver bintenis ”. Istilah perikatan ini lebih
umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini
berarti; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang
mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli
barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya
seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan,
letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena
hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh
pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat
hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan
yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam
lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu
berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum
dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu
perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan
ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta
kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum
keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of
succession) serta dalam bidang hukum pribadi (personal law).
Dalam Buku III BW yang berjudul “van
Verbintenissen”, di mana istilah ini juga merupakan istilah lain yang
dikenal dalam Code Civil Perancis, istilah mana diambil dari hukum Romawi
yang terkenal dengan istilah “obligation”. Istilah verbintenis dalam BW
(KUHPerdata), ternyata diterjemahkan berbeda-beda dalam kepustakaan hukum
Indonesia. Berkaitan dengan itu, Soetojo Prawirohamidjojo, di dalam salah satu
bukunya menegaskan bahwa : “Istilah verbintenis, ada yang menterjemahkan dengan
“perutangan”, perjanjian maupun dengan “perikatan”. karena masing-masing para
sarjana mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam menterjemahkan dan
mengartikannya, walaupun pengertian yang dimaksudkan perikatan tersebut dapat
tidak terlalu jauh berbeda. Istilah perikatan dimaksud pada dasarnya berasal
dari bahasa Belanda yakni “verbintenis”, diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia berbeda-beda, sebagai bukti, di dalam KUHPerdata digunakan
istilah “perikatan” untuk “verbintenis”. R. Subekti, mempergunakan
istilah “verbintenis” untuk perkataan
“perikatan”, demikian juga R. Setiawan, memakai istilah “perikatan” untuk “verbintenis”.
Selanjutnya Utrecht, memakai istilah perutangan untuk “verbintenis”.
Sebaliknya Soediman Kartohadiprodjo, mempergunakan istilah “hukum pengikatan”
sebagai terjemahan dan “verbintenissenrecht, sedangkan. Sementara itu
R. Wirjono Prodjodikoro, memakai istilah “het verbintenissenrecht”
diterjemahkan sebagai “hukum perjanjian” bukan hukum perikatan, demikian
juga Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, memakai istilah “hukum
perutangan” untuk “verb intenissenrecht” .(R. Soetojo , 1979; 10)
Dari uraian di atas, maka dapat
dikatakan, bahwa untuk istilah “verbintenis” dikenal adanya tiga istilah
untuk menterjemahkannya yakni; “perikatan, perutangan, dan perjanjian”, akan
tetapi dalam berbagai perkuliahan di Fakultas Hukum yang ada di Indonesia,
penggunaan terjemahan istilah “verbintenis” tersebut lebih cenderung
menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis tersebut, demikian juga
halnya dalam tulisan ini digunakan istilah perikatan untuk menterjemahkan
verbintenis dimaksud. Beranjak dari uraian di atas, jika dikaitkan dengan
adanya ketidak samaan pendapat tentang terjemahan istilah verbintenis tersebut,
hal ini berpengaruh terhadap perumusan perikatan, karena di dalam KUHPerdata
sendiri tidak ditemui pngertian perikatan secara yuridisnya, oleh karena untuk
merumuskan tentang perikatan dapat dipedomani beberapa pendapat para ahlinya.
Berkaitan dengan itu, menurut
Hofmann, bahwa “perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas
subjek-subjek hukum, sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang dari
padanya (debitur atau para debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut
cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang berhak atas sikap demikian itu”.
Selanjutnya Pitlo mengatakan, bahwa “perikatan adalah suatu hubungan hukum yang
bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih atas dasar mana pihak yang
satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu
prestasi”. Sementara itu, menurut Abdulkadir Muhammad;.”Perikatan adalah
hubungan hukum yang terjadi antara debitur dan kreditur, yang terletak dalam
bidang harta kekayaan. Soediman Kartohadiprodjo, juga merumuskan perikatan
tersebut dengan; “suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua
orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan
pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi”. Demikian juga halnya,
menurut R.Setiawan, bahwa “perikatan adalah suatu hubungan hukum, yang
artinya hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum. (R.Setiawan, 1994; 2).
Dari berbagai pengertian atau rumusan
perikatan sebagaimana dikemukakan para ahli di atas, dapat dikatakan, bahwa
perikatan tersebut pada dasarnya merupakan hubungan hukum yang artinya hubungan
yang di atur dan di akui oleh hukum, baik yang dapat dinilai dengan uang maupun
tidak, yang di dalamnya terdapat paling sedikit adanya terdapat satu dan
kewajiban, misalnya suatu perjanjian pada dasarnya menimbulkan atau melahirkan
satu atau beberapa perikatan, keadaan ini tentu tergantung pada jenis
perjanjian yang diadakan, demikian juga halnya suatu perikatan dapat saja
dilahirkan karena adanya ketentuan undang-undang, dalam arti, undang-udanglah
yang menegaskan, di mana dengan terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan telah
melahirkan perikatan atau hubungan hukum, misalnya, dengan adanya perbuatan
melanggar hukum.
Hubungan hukum sebagaimana
dimaksudkan, harus dibedakan dengan hubungan lainnya yang ada di dalam
pergaulan masyarakat, seperti pergaulan yang berdasarkan etika dan kesopanan,
kepatutan dan kesusilaan. Penyimpangan terhadap hubungan tersebut, tidak
menimbulkan akibat hukum, misalnya; janji untuk bertemu dengan pasangan, janji
untuk pergi kuliah bersama dan lain-lain yang pada dasarnya berada diluar
lingkungan hukum dalam arti, hal ini bukan merupakan perikatan atau hubungan
hukum.
Melihat beberapa pengertian perikatan dan
kasus di atas, maka dapat dikatakan bahwa pada dasarnya perikatan merupakan
“suatu hubungan hukum antara dua pihak, di mana pihak yang satu berhak menuntut
sesuatu dan pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan
tersebut. Dalam hal mi, dapat disebutkan, bahwa pihak yang menuntut disebut
kreditur (pihak berpiutang) dan pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi
disebut debitur (pihak berutang). Keadaan tersebut juga dapat diartikan, bahwa
adanya suatu hak dan kewajiban yang harus dilakukan kreditur dan debitur
tergantung dan yang diperjanjikan, di mana hak dan kewajiban kreditur
dimaksudkan harus diatur oleh undang-undang, yaitu sebagai suatu tindakan untuk
melakukan tuntutan terhadap pihak yang lalai dalam melaksanakan suatu prestasi
atau kewajibannya. Hal ini berarti, bahwa secara sederhana perikatan diartikan
sebagai suatu hal yang mengikat antara orang yang satu dengan orang yang lain.
Hal yang mengikat itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan,
misalnya jual beli, hutang-piutang, dapat berupa kejadian, misalnya kelahiran,
kematian, dapat berupa keadaan, misalnya perkarangan berdampingan, rumah
bersusun, jadi peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum, dalam arti
peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum.
Dalam hubungan hukum itu tiap
pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik. Pihak yang satu
mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
itu wajib memenuhi tuntutan itu, dan sebaliknya. Pihak yang berhak menuntut
sesuatu disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut
debitur. Hal ini berarti, menurut Ridwan Syahrani, “bahwa terjadinya hubungan
hukum antara dua pihak tersebut, di mana masing-masing pihak (kretidur) berhak
atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi itu”
(Ridwan Syahrani, 1992; 203). Prestasi sebagaimana di maksudkan dapat dikatakan
sebagai objeknya perikatan, yaitu sesuatu yang dituntut oleh kreditur
terhadap debitur, atau sesuatun yang wajib dipenuhi oleh debitur terhadap
kreditur. Prestasi adalah harta kekayaan yang diukur atau diniali dengan uang.
Yang berkewajiban membayar sejumlah uang berposisi sebagai debitur, sedangkan
pihak yang berhak menerima sejumlah uang berposisi sebagai kreditur.
Dalam hukum hutang-piutang, pihak
yang berhutang disebut debitur, sedangkan pihak yang berhutang disebut
kreditur. Dalam hubungan jual beli, pihak pembeli berposisi sebagai debitur,
sedangkan penjual berposisi sebagai kreditur. Dalam perjanjian hibah, Pemberi
hibah disebut debitur, sedangkan penerima hibah disebut kreditur. Dalam
perjanjian kerja, pihak yang melakukan pekerjaan disebut kreditur, sedangkan
pihak yang berkewajiban membayar upah disebut debitur.
Dari uraian yang telah dikemukakan,
pada akhirnya perlu juga dipahami tentang rumusan hukum perikatan, maka dengan
melihat beberapa pengertian dan kasus yang telah dikemukakan, dapat dikatakan
bahwa hukum perikatan, pada dasarnya merupakan “kesemuanya kaidah hukum atau
aturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban seseorang yang bersumber pada
tindakannya, baik dalam lingkungan hukum kekayaan yang dapat dinilai dengan
uang maupun tidak dapat dinilai dengan uang.
2.2 Dasar Hukum
Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan
KUH Perdata terdapat tiga sumber yaitu :
A. Perikatan yang timbul dari persetujuan.
Contoh : Adanya
jual beli karena suatu perjanjian. Suatu perjanjian dimana penjual memberikan
suatu perjanjian kepada pembeli. Misalnya penjual menjual barang kepada pembeli
dengan mengajukan syarat pembayaran
2/10, n/30 , yaitu penjual member
bataspembayaran sampai dengan 30 hari. Jika dalam jangka 10 hari sudah membayar
maka dikenakan potongan 2%.
Perjanjian
kontrak kerja yang harus disepakati oleh ke dua belah pihak.
B.
Perikatan yang timbul
dari undang – undang yang dibagi lagi menjadi :
1)
perikatan yang terjadi karena undang-undang semat
Contoh :
Kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anak, yaitu hukum
kewarisan.
2)
perikatan yang terjadi karena undang-undang akibat
perbuatan manusia
Contoh : Apabila
suatu pribadi melakukan Wanprestasi, seorang yang berpiutang yang mengehendaki
suatu pelaksanakan perjanjian dari seorang berhutang yang tidak memenuhi
kewajibannya harus meminta perantara pengadilan. Jika prestasi yang dikehendaki
tersebut berupa membayar sejumlah uang ,memang si berpiutang sudah tetolong
dengan adanya pengadilan, jadi si berpiutang bisa mendapat suatu putusan dari
pengadilan dengan menyita dan melelang harta benda si berhutang tersebut
C. Perikatan terjadi bukan
perjanjian
Contoh : A
menitipkan sepedanya dengan Cuma – Cuma
kepada B, maka terjadilah perikatan antara A dan B yang menimbulkan hak pada A
untuk menerima kembali sepeda tersebut dan kewajiban pada B untuk menyerahkan sepeda tersebut.
Sumber
perikatan berdasarkan undang-undang :
A. Perikatan
( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau
karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
B. Persetujuan
( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana
satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
C. Undang-undang
( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul
dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
Dalam berbagai kepustakaan
hukum Indonesia memakai bermacam-macam istilah untuk menterjemahkan
verbintenis danovereenkomst, yaitu :
ü
Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, Subekti dan Tjiptosudibio menggunakan istilah perikatan untuk
verbintenis dan persetujuan untuk overeenkomst.
ü
Utrecht dalam
bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia memakaiistilah Perutangan
untukverbintenis dan perjanjian untukovereenkomst.
ü
Achmad Ichsan dalam
bukunya Hukum Perdata IB, menterjemahkan verbintenis dengan perjanjian dan
overeenkomst dengan persetujuan.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan
bahwa dalam bahasa Indonesia dikenal tiga istilah terjemahan bagi ”verbintenis”
yaitu :
ü
Perikatan
ü
Perutangan
ü
Perjanjian
Sedangkan untuk istilah ”overeenkomst” dikenal dengan
istilah terjemahan dalam bahasa Indonesia yaitu : perjanjian dan persetujuan.
Untuk menentukan istilah apa yang paling tepat untuk digunakan dalam
mengartikan istilah perikatan, maka perlu kiranya mengetahui makna nya.
terdalam arti istilah masing-masing.Verbintenis berasal dari kata kerja
verbinden yang artinya mengikat. Jadi dalam hal ini istilah verbintenis
menunjuk kepada adanya ”ikatan” atau ”hubungan”. maka hal ini dapat dikatakan
sesuai dengan definisiverbintenis sebagai suatu hubungan hukum. Atas
pertimbangan tersebut di atas maka istilah verbintenis lebih tepat diartikan
sebagai istilah perikatan. sedangkan untuk istilah overeenkomst berasal dari
dari kata kerja overeenkomen yang artinya ”setuju” atau ”sepakat”.
Jadiovereenkomst mengandung kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme yang
dianut oleh BW. Oleh karena itu istilah terjemahannya pun harus dapat
mencerminkan asas kata sepakat tersebut. Berdasarkan uraian di atas maka
istilahovereenkomst lebih tepat digunakan untuk mengartikan istilah
persetujuan.
2.3 Jenis-Jenis
Perikatan
A.
Perikatan bersyarat
Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis)
adalah perikatan yang digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah suatu
peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadinya, baik dengan
menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadinya peristiwa, maupun dengan
membatalkan perikatan karena terjadi atau tidak terjadinya peristiwa
tersebut (pasal 1253 KUH Perdata). Dari ketentuan pasal ini dapat dibedakan dua
perikatan bersyarat yaitu periktan dengan syarat batal dan periktan dengan
syarat tangguh:
1)
Perikatan dengan syarat tangguh; Apabila syarat
“peristiwa” yang diamksudkan dengan itu terjadi, maka perikatan dilaksanakan
(pasal 1263 KUHPdt). Jadi, sejak peristiwa itu terjadi, kewajiban dibitur untuk
berprestasi segera dilaksanakan. Misalnya A setuju apabila B adiknya paviliun
rumahnya, setelah B kawin. Kawin adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan
belum pasti terjadi. Sifatnya menangguhkan pelaksanaan perikatan. Jika B kawin,
maka A berkewajiban menyerahkan paviliun rumahnya untuk didiami oleh B.
2)
Perikatan dengan syarat batal; Disamping perikatan
yang sudah ada akan berakhir apabila “peristiwa” yang dimaksudkan itu terjadi
(pasal 1265 KUH Perdata). Misalnya A setuju apabila B mendiami rumah milik A
selama ia belajar di luar negeri, dengan syarat bahwa B harus mengosongkan
rumah tersebut apabila A selasai studi dan kembali ke tanah air. Di sini syarat
“selesai dan kembali ke tanah air” masih akan terjadi dan belum belum pasti
terjadi. Tetapi jika syarat tersebut terjadi perjanjian berakhir dalam arti
batal. Hal ini membawa konsekwensi bahwa segala sesuatu dipulihkan dalam
keadaan semula seolah-olah tidak ada perikatan. Dalam contoh di atas B
berkewajiban menyerahkan kembali rumah tersebut kepada A.
Batalnya perikatan itu bukanlah “batal demi hukum”, melainkan “dinyatakan
batal” oleh hakim. Jadi, jika syarat batal itu dipenuhi , maka pernyataan batal
harus dimintakan kepada hakim., tidak cukup dengan permintaan salah satu pihak
saja, atau pernyataan kedua belah pihak, meskipun syarat batal itu dicantumkkan
dalam perikatan (pasal 1266 KUHPerdata)
B.
Perikatan dengan Ketetapan Waktu
Suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan,
melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya. Maksud syarat “Ketetapan waktu”
ialah pelaksanaan perikatan itu digantungkan pada” waktu yang ditetapkan”.
Waktu yang ditetapkanadalah peristiwa yang
masih akan terjadi dan terjadinya itu sudah pasti, atau dapat berupa tanggal
yang sudah ditetapkan. Misalnya A berjanji kepada anak perempuannya yang
telah kawin itu untuk memberikan rumahnya, apabila bayi yang sedang
dikandungnya lahir. Disini “kelahiran” adalah peristiwa yang masih
akan terjadi dan terjadinya itu sudah pasti. Tentu saja berdasarkan pemeriksaan
dokter, anak itu lahir hidup. Contoh lain, A berjanji kepada B, bahwa ia akan
membayar hutangnya dengan hasil panen sawahnya yang sedang menguning. Dalam hal
ini “hasil panen yang sedang menguning” sudah pasti, karna dalam waktu dekat A.
Akan panen sawah, sehingga pembayaran hutang sudah pasti.
Dalam perikatan dengan ketetapan waktu, apayang harus
dibayar pada waktu yang ditentukan tidak dapat ditagih sebelum waktu itu
tiba . Tetapi apa yang sudah dibayar sebelum waktu itu tibe dapat diminta
kembali (pasal 1269 KUH Perdata).
Dalam perikatan perikatan dengan ketetapan waktu
ketetapan waktu selalu dianggap dibuat untuk kepentingan debitur, kecuali jika
dari sifat perikatannya sendiri, atau dari keadaan ternyata bahwa ketetapan
waktu itu telah dibuat untuk kepentinagn kreditur (pasal 1270 KUH
Perdata). Biasanya kepentingan kreditur itu ditetapkan dalam perjanjian
atau dalam akta.
C.
Perikatan manasuka (boleh
pilih)
Dalam Perikatan Manasuka, objek prestasi ada dua macam
benda. Dikatakan perikatan manasuka, karena debitur telah memenuhi prestasi
dengan memilih salah satu dari dua benda yang dijadikan objek perikatan. Tetapi
debitur tidak dapat memaksa kreditur untuk menerima benda yang satu dan
sebagian benda yang lainnya. Jika debitur telah memenuhi salah satu dari dua
benda yang didsebutkan dalam perikatan, yang dibebaskan dan perikatan berakhir.
Hak memilih prestasi itu ada pada debitur, jika hak ini tidak secara tegas
diberikan kepada kreditur (pasal 1272 dan 1273 KUH Perdata). Misalnya, A
memesan barang elektronik berupa stereo tape rekorder pada sebuah toko barang
elektronik dengan harga yang sama yaitu Rp 75.000. Dalam hal ini pedangang
tersebut dapat memilih, menyerahkan strereo tape rekorder. Tetapi jika diperjanjikan
bahwa A yang menentukan pilihan, maka pedagang memberitahukan kepda A bahwa
barang pesanan sudah tiba, silakan A memilih salah satu diantara dua
benda objek perikatan itu. JIka A telah memilih dan dan memerima dari
salah satu benda itu, perikatan berakhir.
Jika salah satu benda yang menjadi objek perikatan itu
hilang atau tidak dapat diserahkan atau musnah, maka perikatan itu menjadi
murni dan bersyahaja. Jika kedua benda itu hilang dan debitur bersalah tentang
hilangnya salah satu benda itu, debitur harus membayar harga benda yang hilang
paling akhir (pasal 1274 dan 1275 KUH Perdata).
Jika hak memilih ada pada kreditur dan hanya salah
satu benda saja yang hilang, maka jika itu terjadi bukan karena kesalahan
debitur, kreditur harus memperoleh benda yang masih ada. Jika salah satu benda
tadi terjadi karena kesalhan debitur, maka kreditur boleh menuntut pembayaran
harga salah satu menurut pilihannya, apabila musnahnya salah satu benda atau
kedua benda itu karena kesalahan debitur (pasal 1276 KUH Perdata). Prinsip
dasar di atas ini berlaku, baik jika ada lebih dari dua benda terdapat dalam
perikatan maupun jika perikatan bertujuan melakukan suatu perbuatan (pasal 1277
KUH perdata). Melakukan perbuatan, misalnya dalam perikatan mengerjakan bangunan
dan melakukan pengangkutan barang. Disini debitur boleh memilih mengerjakan
bangunan atau melakukan pengangkutan barang ke lokasi bangunan.
Selain dari perikatan manasuka (alternatif), ada lagi
yang disebut perikatan fakultatif, yaitu perikatan dengan mana debitur wajib
memenuhi suatu prestasi tertentu atau prestasi lain yang tertentu pula. Dalam
perikatan ini hanya ada satu objek saja. Apabila debitur tidak memenuhi prstasi
itu, ia dapat menganti dengan prestasi lain. Misalnya A berjanji kepada B untuk
meminjamkan kendaraannya guna melaksankan
penelitian. Jika A tidak mungkin meminjamkan kendaraannya karena rusak, ia
dapat menganti dengan sejumlah uang biaya transportasi penelitian itu.
Perbedaan antara perikatan alternatif dengan perikatan fakultatif adalah
sebagai berikut :
1)
Pada perikatan alternatif ada dua benda yang sejajar
dan debitur harus menyerahkan salah satu dari dua benda itu. Sedangkan pada
perikatan fakultatif hanya satu benda saja yang menjadi prestasi.
2)
Pada perikatan alternatif jika benda yanmg satu
hilang, benda yang lain menjadi penggantinya. Sedangkan pada perikatan
fakultatif jika bendanya binasa. perutangan menjadi lenyap.
Adalagi yang
disebut perikatan generik, yang objeknya dutentukan oleh jenisnya, misalnya
beras Cianjur, Kuda Nil. Perbedaannya dengan perikatan alternatif ialah jika
periktan generik objeknya ditentukan oleh jenisnya yang homogin. Sedangkan pada
perikatan alternatif objeknya ditentukan oleh jenisnya yany tidak homogen.
Keberatan perikatan generik ialah debitur tidak perlu memberikan benda prestasi
itu yang terbaik, tetapi tidak juga yang terburuk (pasal 969 KUH Perdata).
Benda yang menjadi objek perikatan generik itu cukuplah jika sekurang-kurangnya
dapat ditentukan (perhatikan pasal 1333 KUH Perdata.
D.
Perikatan Tanggung
Menanggung
Dalam perikatan tangung menanggung dapat terjadi
seseorang debitur berhadapan dengan beberapa orang kreditur, atau seorang
kreditur berdapan dengan beberapa orang debitur. Apabila kreditur terdiri dari
beberapa orang, ini disebut tanggung-menanggung aktif. Dalam hal ini setiap
kreditur barhak atas pemenuhan prestasi selurauh hutang, dan jika prestasi
tersebut sudah dipenuhi, debitur dibebaskan dari hutangnya dan perikatan hapus
(pasal 1278 KUH Perdata).
Dalam hubungan eksteren antara debitur masing-masing
dengan kreditur, apabila dalam suatu perikatan harus diserahkan suatu
benda, yang kemudian musnah karena kesalahan seseorang dari pihak debitur, maka
pihak debitur lainnya tidak dibebaskan dari tanggung jawabterhadap kreditur
untuk membayar benda yang musnah tersebut. Kreditur yang menderita kerugian
karena salahnya debitur hanya berhak menuntut ganti kerugian terhadap debitur
yang bersalah itu (pasal 1285 KUH Perdata). Demikian pula dengan tuntutan
pembayaran bunga yang dilakukan terhadap salah satu debitur
tanggung-menanggung, berlaku juga terhadap debitur-debitur lainnya (pasal
1286).
Jika diantara debitur tangung-menanggung itu ada
hubungan hukum yang lain dengan kreditur atau mempunyai kedudukan yang istimewa
terhadap kreditur, maka hubungan hukum tersebut harus dipisahkan dari hubungan
hukum tanggung-menaggung itu. Debitur yang bersangkutan dapat menggunakan hak
tangkisannya, sedangkan debitur yang lainnya tidak (pasal 1287 KUH Perdata).
Jika seorang debitur menjadi ahli waris dari kreditur, perikatan antara
keduanya itu menjadi lenyap (pasal 1288 KUH Perdata).
Adakalanya juga seorang kreditur menerima sari salah
seorang debitur bagian yang menjadi kewajibannya. Jika hal ini terjadi,
kewajiban tanggung-menanggung terhadap debitur lainnya tetap ada, kecuali
kreditur secara tegas menyatakan bahwa yang diterimanya itu untuk bagian
keweajiban debitur itu (perhatikan pasal 1289.1290 dan 1291 KUH perdata). Dalam
Peraktek terkadang jenis perikatan ini juga terjadi, di mana perikatan
tanggung-menanggung pasif, pihak kreditur lebih merasa terjamin atas pemenuhan
perikatannya. Perikatan tanggung-menanggung pasif dapat terjadi karena :
1)
Wasiat, apabila pewaris memberikan tugas untuk
melaksanakan suatu legaat (hibah wasiat) kepada ahli warisnya secara tanggung-menanggung;
2)
Ketentuan undang-undang, dalam hal ini undang-undang
menetapkan secara tegas perikatan tanggung-menaggung dalam perjanjian khusus.
Perikatan
tanggung-menanggung yang secara tegas diatur dalam perjanjian khusus itu adalah
sebagai berikut :
1)
Persekutuan dengan Firma (pasal 18 KUHD), di mana
setiap sekutu bertanggung jawab secara tanggung-menanggung untuk
seluruhnya atas semua perikatan Firma;
2)
Peminjaman barang (pasal 1749 KUH Perdata), jika
beberapa orang bersama-sama menerima suatu barang dalam peminjaman, mereka itu
masing-masing untuk seluruhnya bertanggung jawab terhadap orang yang
memberikan pinjaman;
3)
Pemberian kuasa (pasal 1181 KUH Perdata), seorang
penerima kuasa diangkat oleh beberapa orang untuk mewakili dalam suatu urusan yang
menjadi urusan mereka bersama, mereka bertanggung jawab untuk seluruhnya
terhadap penerima kuasa mengenai segala akibat pemberian kuasa itu;
4)
Jaminan orang (borgtocht, pasal 1836 KUH Perdata),
jika beberapa orang telah mengikatkan dirinya sebagai penjamin seorang debitur
yang sama untuk hutang yang sama, mereka itu masing-masing terikat untuk
seluruh hutang.
E.
Perikatan Dapat dan Tidak
Dapat Dibagi
Suatu
perikatan dikatakan dapat atau tidak dapat dapat dibagi, apabila benda yang
menjadi objek perikatan dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan, lagi
pula pembagian itu tidak boleh mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Jadi
sifat dapat atau tidak dapat dibagi itu didasarkan pada :
1)
Sifat benda yang menjadi objek perikatan.
2)
Maksud perikatannya, apakah itu dapat atau tidak dapat
dibagi.
Persolan
dapat atau tidak dapat dibagi itu mempunyai arti, apabila dalam perikatan itu
terdapat lebih seorang debitur atau lebih dari seorang kreditur. Jika hanya
seorang debitur saja, dalam perikatan itu maka perikatan itu dianggap sebagai
tidak dapat dibagi, meskipun prestasinya dapat dibagi. Menurut ketentuan pasal
1360 KUH Perdata, tak seorang debitur pun dapat memaksa kreditur menerima pem
bayaran hutangnya sebagian-demi sebagaian, meskipunhutang itu dapat dibagi-bagi.
Perikatan
dapat atau tidak dapat dibagi dapat terjadi apabila salah satu pihak meninggal
dunia, sehingga timbul persoalan apakah pemenuhan prestasi dapat dibagi atau
tidak antara para ahli waris almarhum itu. Hal ini tergantung dari benda yang
menjadi objek perikatan yang penyerahan atau perbuatan pelaksanaannya dapat
dibagi atau tidak, baik secara nyata maupun secara perhitungan (pasal 1296 KUH
Perdata). Akibat hukum perikatan dapat atau tidak dapat dibagi ialah, bahwa
dalam perikatan yang tidak dapat dibagi, setiap kreditur berhak menuntut
seluruh prestasi pada setiap debitur, dan setiap debitur wajib memenuhi
prestasi tersebut seluruhnya. Dengan dipenuhi prestasi oleh seorang debitur,
membebaskan debitur lainnya dan perikatan menjadi hapus. Dalam perikatan yang
dapat dibagi setiap kreditur hanya berhak menuntut suatu baguian prestasi
menurut perimbangannya, sedangkan setiap debitur wajib memenuhi prestasi untuk
bagiannya saja menurut perimbangan.
F.
Perikatan dengan Ancaman
Hukuman
Perikatan ini membuat suatu ancaman hukuman terhadap
debitur apabila ia lalai memenuhi prestasinnya. Ancaman hukuman ini bermaksud
untuk memberikan suatu kepastian atau pelaksanaan isi perikatan seperti yang
telah ditetapkan dalam perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak. Disamping itu
juga sebagai usaha untuk menetapkan jumlah ganti kerugian jika betul-betul
terjadi wanprestasi. Hukuman itu merupakan suatu dorongan bagi debitur untuk
memenuhi kewajiban berprestasi dan untuk membebaskan kreditur dari pembuktian
tentang besarenya ganti kerugian yang telah dideritanya.
Menurut ketentuan pasal 1304 KUH Perdata, ancaman
hukuman itu ialah, melakukan sesuatu apabila periktan tidak dipenuhi, sedangkan
penetapan hukuman itu ialah sebagai ganti kerugian karena tidak dipenuhinya prestasi
(pasal 1307 KUH Perdata). Ganti kerugian selalu berupa uang. denbgan demikian
dapat disimpulkan bahwa ancaman hukuman itu berupa ancamam pembayaram denda.
Pembayaran denda sebagai ganti kerugian tidak dapat dituntut oleh kreditur
apabila tidak berprestasi debitur itu, karena adanya kedaan memaksa
(overmacht). Misalnya dalam perjanjian dengan ancaman hukuman, apabila seorang
pemborong bangunan dalam waktu 30 hari, tidak menyelesaikan pekerjaan nya ia
dikenekan denda Rp50.000,- setiap hati keterlambatan. Dalam hal ini jika
pemborong tadi melalaikan kewajibannya berarti ia harus membayar denda sebesar
Rp 50.000,- sebagai ganti kerugian setiaop hari keterlambatan.
Dalam menentapkan denda sebagai ganti
kerugian itu mungkin jumlahnya terlalu tinggi. Menrut ketentuan pasal 1309 KIH
Perdata. hUkuman dapat diubah dengan hakim, jika perikatan pokok telah dipenuhi
sebagian. Tetapi jika debitur belum sama sekali melaukan kewajibanya sedangakan
hukuman yang ditetpkan terlalui tinggi, Hakimpun dapat menggunakan pasal 1338
KUHPpd bahwa perjanjian yang dibuat dengan syah harus dilaksanakan dengan
iktikad baik (Pervormence in good faith).
Ancaman hukuman dalam perikatan ini bersifat asesor
(pelengkap), artinya adanya hukuman tergantung adanyan perikatan pokok.
Batalnya perikatan pokok mengakibatkan batalnya ancaman hukuman. Tetapi
batalnya ancaman hukuman tidak membewa batalnya perikatan pokok (pasal 1305
KUHpt
2.4 Asas-asas Hukum
Perikatan
A.
Asas kebebasan berkontrak
Asas
ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun
juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur
dalam undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPdt). Asas kebebasan berkontrak dapat
dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt, yang berbunyi: “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk:
1)
Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2)
Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3)
Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan,
dan persyaratannya;
4)
Menentukan bentuk perjanjiannya apakah
tertulis atau lisan.
Latar
belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme
yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum
Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain
ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau.
Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang
dikehendakinya. Dalam hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam “kebebasan
berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa the invisible hand akan
menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali
tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat ekonomi
untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan kedudukan
pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat
seperti yang diungkap dalam exploitation de homme par l’homme.
B.
Asas Konsesualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal
1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat
sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas
ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan
secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh
kedua belah pihak. Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan
hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme,
tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal.
Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara
nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal
adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa
akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah
contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa
terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas
konsensualisme yang dikenal dalam KUHPdt adalah berkaitan dengan bentuk
perjanjian.
C.
Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas
pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian.
Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus
menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya
sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan
dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum
gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian
bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah.
Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak
merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun,
dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai
pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan
tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan
kata sepakat saja.
D.
Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3)
KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas
ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus
melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang
teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua
macam, yakni itikad baik nisbi (relative) dan itikad baik mutlak. Pada itikad
yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari
subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan
serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak
memihak) menurut norma-norma yang objektif.
E.
Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan
bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk
kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal
1340 KUHPdt. Pasal 1315 KUHPdt menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat
mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti
ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang
tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.
2.5 Prestasi dan
Wanprestasi
A.
Prestasi
Prestasi adalah yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam
setiap perikatan. Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata
kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitur.
Dalam pasal 1131 KUH Perdata dinyatakan bahwa semua harta kekayaan debitur baik
bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi
jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditur. Tetapi jaminan umum ini dapat
dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam
perjanjian antara pihak-pihak.
Menurut ketentuan pasal 1234 KUH Perdata ada tiga
kemungkinan wujud prestasi, yaitu (a) memberikan sesuatu, (b) berbuat sesuatu,
(c) tidak berbuat sesuatu. Dalam pasal 1235 ayat 1 KUH Perdata pengertian
memberikan sesuatu adalah menyerahkan kekuasaan nyata atas suatu benda dari
debitur kepada kreditur, misalnya dalam jual beli , sewa-menyewa, hibah,
perjanjian gadai, hutang-piutang.
Dalam perikatan yang objeknya “berbuat sesuatu”,
debitur wajib melakukan perbuatan tertentu yang telah ditentukan dalam
perikatan, misalnya melakukan perbuatan membongkar tembok, mengosongkan rumah,
membangun gedung. Dalam melakukan perbuatan itu debitur harus mematuhi semua
ketentuan dalam perikatan. Debitur bertanggung jawab atas perbuatnnya yang
tidak sesuai dengan ketentuan perikatan.
Dalam perikatan yang objekbnya “tidak berbuat
sesuatu”, debitur tidak melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam
perikatan, misalnya tisdak melakukan persaingan yang telah diperjanjikan, tidak
membuat tembok yang tingginya yang menghalangi pemandangan tetangganya. Apabila
debitur berlawanan dengan periktan ini, ia bertanggung jawab karena
melanggar perjanjian.
1)
Sifat prestasi
Prestasi adalah objek perikatan. Supaya objek itu
dapat dicapai, dalam arti dipenuhi oleh debitur, maka perlu diketahui
sifat-sifatnya, yaitu:
a.
Harus sudah ditentukan atau dapat ditentukan. Hal ini
memungkinkan debitur memenuhi perikatan. Jika prestasi itu tidak tertentu atau
tidak dapat
ditentukan
mengakibatkan perikatan batal (niegtig);
b.
Harus mingkin, artinya artinya prestasi itu dapat
dipenuhi oleh debitur secara wajar dengan segala usahanya, jika tidak
demikian perikatan batal (nietig);
c.
Harus diperbolehkan (halal), artinya tidak dilarang
oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, tidak bertentangan
dengan ketertiban umum, Jika prestasi itu tidak halal, perikatan batal
(niegtig).
d.
Harus ada manpfaat bagi kreditur, artinya kreditur
dapat menggunakan, menikmati, dan mengambil hasilnya. Jika tidak demikian,
perikatan dapat dibatalkan (verniegtigbaar).
e.
Terdiri dari satu perbuatan atau serentetan perbuatan.
Jika prestasi itu berupa satu kali perbuatan dilakukan lebih dari satu kali
dapat mengakibatkan pembatalan perikatan (vernietigbaar).
B.
Wanprestasi
Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang
telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur
disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu:
1)
Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak
dipenuhinya kewajiban maupun karena kelalaian.
2)
Karena keadaan memaksa (overmacht), force mejeure,
jadi di luar kemampuan debitur. Debitur tidak bersalah.
Untuk
menentukan apakah seorang debitur bersalah melakukan wanprestasi, perlu
ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan sangaja atau lalai tidak
memenuhi prestasi. Ada tiga keadaan, yaitu:
1)
debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali,
2)
debitur memenuhi prestasi, tetapi tetapi tidak baik
atau keliru,
3)
debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya
atau terlambat.
Untuk
mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan
apakah dalam perkataan itu ditentukan tanggang waktu pelaksanaan pemenuhan
prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan
pemenuhan prestasi “tidak
ditentukan”, perlu memperingatkan debitur sepaya ia memenuhi prestasi. Tetapi
dalam hal telah ditentukan tanggang waktunya, menurut ketentuan pasal 1238 KUH
Perdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah
ditetapkan dalam perikatan.
Bagaimana
cara memperingatkan debitur agar ia memenuhi prestasinya? Debitur perlu diberi
peringatan tertulis, yang isinya menyatakan bahwa debitur wajib memenuhi
prestasi dalam waktu yang ditentukan. Jika dalam waktu itu debitur tidak
memenuhinya, debitur dinyatakan telah lalai atau wanprestasi. Peringatan
tertulis dapat dilakukan secara resmi dan dapat juga secara tidak resmi.
Peringatan tertulis secara resmi dilakukan melalui Pengdilan Negeri yang
berwenang, yang disebut “somatie”. Kemudian Pengadilan Negeri melalui
perantaraan Jurusita menyampaikan surat peringatan tersebut kepada debitur,
yang disertai berita acara penyampaiannya. Peringatan tertulis tidak resmi
misalnya melalui suart tercatat, telegram, atau disampaikan sendiri oleh
kreditur kepada debiotur dengan tanda terima. Surat peringatan disebut
“ingebreke stelling”.
Akibat hukum
bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau saksi hukum
berikut ini:
1)
Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah
diderita oleh kreditur (pasal 1243 KUH Perdata);
2)
Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat
menuntut pemutusan/pembatalan perikatan melalui Hakim (pasal 1266 KUH Perdata);
3)
Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko
berlaih kepada debitur sejak terjadi wanprestasi (pasal 1237 ayat 2);
4)
Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat
dilakukan, atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (pasal 1267 KUH
Perdata);
5)
Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan
di muka Pengadilan Negeri, dan debitur dinyatakan bersalah;
6)
Keadaan Mamaksa (overmacht).
Keadaan
memaksa ialah keadaan tidak dipenuhinya prestasi oleh debitur karena peristiwa
yang yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi ketika
membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa, debitur tidak dapat dipersalahkan,
karena keadaan ini timbul diluar kemauan dan kemampuan debitur. Unsur-unsur
keadaan memaksa adalah sebagai berikut:
1)
Tidak dipenuhinya prestasi
karena terjadi peristiwa
yang membinasakan/ memutuskan benda
objek perikatan; atau
2)
Tidak dipenuhinya prestasi karena terjadi peristiwa
yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprstasi;
3)
Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan
terjadi pada waktu membuat perikatan.
Dalam hal
ini keadaan memaksa yang memenuhi unsur satu dan tiga, maka keadaan memaksa ini
disebut “keadaan memaksa objektif”. Vollmar menyebutnya dengan absolute
overmacht. Dasarnya ialah ketidakmungkinan (impossibility) memenuhi prestasi,
karena bendanya lenyap/musnah. Misalnya jual beli lukisan karapan sapi karya
Afandi, ketika akan diserahkan kepada pembeli di sebuah hotel, lukisan tersebut
terbakar habis bersama-sama mobil yang membawanya karena kecelakaan lalu
lintas. Peristiwwa ini mengakhiri perikatan karena tidak mungkin dapat dipenuhi
oleh debitur.
Dalam hal
terjadinya keadaan memaksa yang memenuhi unsur dua dan tiga, keadaan memaksa ini
disebut “keadaan memaksa yang subjektif”. Vollmar menyebutnya dengan relative
overmacht. Dasarnya ialah kesulitan memenuhi prestasi, karena ada peristiwa
yang menghalagi debitur untuk berbuat. Misalnya seorang mahasiswa membeli
sebuah mesin tik dari seorang pedagang, yang disanggupi untuk dikirimkan dalam
waktu satu minggu. Kemungkinan kapal yang mengangkut benda itu membentur
karang, sehingga harus masuk dok untuk perbaikan. Di sini debitur
mengalami kesulitan memenuhi prestasi.
Dalam
peristiwa ini debitur bukannya tidak mungkin memenuhi prestasi, tetapi sulit
memenuhi prestasi, bahkan kalau dipenuhi juga memerlukan waktu dan biaya yang
banyak. Keadaan memaksa dalam hal ini bersifat sementara. Perikatan tidak
berhenti (tidak batal) hanya pemenuhan prestasinya tertunda. Jika kesulitan
sudah tidak ada lagi pemenuhan prestasi diteruskan. Tetapi jika prestasi itu
sudah tidak berarti lagi bagi kreditur karena sudah tidak diperlukan lagi, maka
perikatan “gugur” (verbal).
Perbedaan
antara perikatan batal dengan perikatan gugur terletak pada ada tidaknya objek
perikatan dan objek tersebut harus mungkin dipenuhi. Pada perikatan batal,
objek perikatan tidak ada karena musnah, sehingga tidak mungkin dipenuhi oleh
debitur (sifat prestasi). Sedangkan pada perikatan gugur, objek perikatan ada,
sehingga mungkin dipenuhidengan segala macam usaha debitur, tetapi tidak
mempunyai arti lagi bagi kreditur. Jika prestasi betul-betul dipenuhi oleh
debitur, tetapi kreditur tidak menerima karena tidak ada arti
(manfaat) lagi, perikatan “dapat dibatalkan” (vernietigbaar).
Persamaannya ialah pada perikatan batal, gugur, keduanya itu tidak memcapai
tujuan.
Dalam KUH
Perdata keadaan mamaksa tidak diatur secara umum, melainkan secara khusus pada
perjanjian-perjanjian tertentu saja, misalnya pasal 1237 KUH Perdata perjanjian
sepihak, pasal 1460 KUH Perdata perjanjian jual beli, pasal 1545 KUH Perdata
perjanjian tukar menukar, pasal 1553 KUH Perdata perjanjian sewa-meyewa, Karena
itu, pihak-pihak bebas memperjanjikan tanggung jawab itu dalam perjanjian yang
mereka buat, apabila terjadi keadaan memaksa.
Dalam
keadaan memaksa pada perjanjian hibah, resiko ditanggung oleh kreditur (pasal
1237 KUH Perdata). Pada perjanjian jula beli, resiko ditanggung oleh kedua
belah pihak (SEMA. No. 3 tahun 1963 mengenai pasal 1460
KUH Perdata). Pada perjanjian tukar menukar,
resiko ditanggung oleh pemiliknya (pasal 1545 KUH Perdata). Pada perjanjian
sewa-meyewa, resiko ditanggung oleh pemilik benda (pasal 1553 KUH Perdata).
2.6 Hapusnya
perikatan
Menurut ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada sepuluh caranya hapusnya
perikatan yaitu :
A.
Pembayaran
Pembayaran disini tidak saja meliputi penyerahan
sejumlah uang melainkan juga penyerahan suatu benda. Dengan kata lain
perikatan berakhir karen pembayaran dan peneyerahan benda. Jadi dalam hal objek
perikatan adalah sejumlah uang maka perikatan berakhir dengan pembayaran uang.
Dalam hal perikatan adalah suatu benda, maka perikatan berakhir setelah
penyerahan benda. Dalam hal objek perikatan adalah pebayaran uang dan
penyerahan benda secra timbl balik, perikatan baru berakhir setelah pembayaran
dan penyerahan benda.
B.
Penawaran pembayaran tunai
diikuti penitipan
Apabila debitur telah melakukan penawaran pembayaran
dengan perantara Notaris dan atau jurusita, kemudian kreditur menolak penawaran
tersebut, atas penolakan kreditur itu kemudian debitur meniptipkan pembayaran
itu kepada Panitra pengadilan Negeri setempat untu disimpan. Dengan demikian
perikatan menjadi hapus (pasal1404 KUHpd). Supaya penawaran pembayaran itu sah,
perlu dipenuhi syarat-syarat :
1)
Dilakukan kepada kreditur atau kuasanya;
2)
Dilakukan oleh debitur yang wenang membayar;
3)
Mengenai semua uang pokok, bunga, biaya yang
telah ditetapkan;
4)
Waktu yang ditetapkan telah tiba;
5)
Syarat dengan mana utang dibuat, telah dipenuhi;
6)
Penawaran pembayaran dilakukan di tempat yang telah
disetujui;
7)
Penawaran pembayaran dilakukan oleh Notaris atau
Jurusita disertai oleh dua orang sakasi.
C.
Pembaharuan hutang (novasi)
Pembaharuan hutang terjadi dengan jalan mengganti hutang
lama dengan hutang baru, debitur lama dengan debitur baru , dan kreditur lama
dengan kreditur baru. Dalam hal hutang lama diganti dengan hutang baru terjadi
penggantian objek perjanjian (novasi objek), di sini hutang lama lenyap. Dalam
hal terjadi penggantian orangnya (subjeknya), maka jika diganti debiturnya,
pembaharuan ini disebut “novasi subjek pasif”. Jika yang diganti itu
krediturnya, pembahruan itu disebut “novasi subjek aktif”. Dalam hal ini
hutang lama lenyap.
D.
Perjumpaan hutang (kompensasi)
Dikatakan
ada perjumpaan hutang apabila hutang piutang debitur dan krteditur secara
timbal balik dilakukan perhitungan. Dengan perhitunganini hutang piutang lama
lenyap. Misalanya A mempunyai hutang Rp 25.000.000,- pada B. Sebaliknya B punya
hutang pada A sejumlah Rp 50.000.000,-. Setelah diperhitungkan, ternyata B
masih mempunyai hutang pada A Rp 25.000.000,-. Supaya hutang itu dapat
diperjumpakan, perlu dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)
berupa sejumlah uang atau benda yang dapat dihabiskan;
2)
hutang itu harus sudah dapat ditagih;
3)
hutang itu seketiga dapat ditentukan atau ditetapkan
jumlahnya (pasal 1427 KUHPdt).
Setiap
hutang apa pun sebabnya dapat diperjumpakan, kecuali dalam hal berikut ini;
1)
apabila dituntut pengembalian suatu benda yang secara
melawan hukum dirampas dari pemiliknya, misalanya dengan pencurian;
2)
apabila dituntut pengambalian barang sesuatu
yang dititipkan atau dipinjamkan;
3)
terhadap suatu hutang yang bersumberkan pada tunjangan
nafkah yang telah dinyatakan tidak dapat disita (pasal 1429 KUH perdata).
Selain itu yurisprudensi juga menetapkan bahwa perjumpaan hutang
berikut ini tidak mungkin, yaitu ;
a.
hutang-hutang negara berupa pajak
b.
hutang-hutang yang timbul dari periktan wajar.
E.
Percampuran Hutang
Menurut ketentuan pasal 1436 KUH Perdata, percampuran
hutang itu terjadi apabila kedudukan kreditur dan debitur itu menjadi satu,
artinya berada dalam satu tangan. percampuran hutang tersebut terjadi dami
hukum. Dalam percampuran hutang ini hutang piutang menjadi lenyap.” Percampuran
hutang itu terjaadi misalnya A sebagai ahli waris mempunyai hutang pada B
sebagai pewaris. Kemudian B meninggal dunia dan A menerima warisan termasuk
juga hutang atas dirinya sendiri. Dalam hal ini hutang lenyap demihukum.
F.
Pembebasan Hutang
Pembebasan hutang dapat terjadi apabila kreditur
dengan tegas menyatakan tidak menhendaki lagi prestasi dari debitur dan
melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perikatan. Denmgan pembebasan
ini perikatan menjadi lenyap atau hapus. Menurut pasal 1438 KUH Perdata,
pembebasan tidak boleh berdasarkan persangkaan, melainkan haruss dibuktikan.
Bukti tersebut dapat digunakan, misalnya dengan pengembalian surat piutang asli
oleh kreditur kepada debitur secara sukarela (pasal 1439 KUH Perdata).
G.
Musnahnya Benda yang
Terhutang
Menurut ketentuan pasal 1444 KUH perdata, apabila
benda tertentu yang menjadi objek perikatan itu musnah, tidak dapat lagi
diperdagangkan, atau hilang, di luar kesalahan debitur dan sebelumnya ia lalai
menyerahkan nya pada waktu yang telah ditentukan, maka perikatannya memnjadi
hapus. Tetapi bagi mereka yang memperoleh benda itu secara tidak sah, misalnya
karena pencurian, mka musnahnya atau hilangnya benda itu tidak membebaskan
debitur (orang yang mencurinya) untuk mengganti harganya. Meskipun debitur
lalai menyerahkan benda itu, ia pun akan bebas dari perikatan itu, apabila ia
dapat membuktikan bahwa hapusnya atau musnahnya benda itu disebabkan oleh suatu
kejadian di luar kekuasaannya dan benda itumjuga akan menemui nasib yang sama, meskipun
sudah berada di tangan kreditur.
H.
Karena Pembatalan
Dalam pasal 1446 KUH Perdata ditegaskan bahwa hanyalah
menganai soal pembatalan saja dan tidak mengenai kebatalannya, karena
syarat-syarat untuk batal yang disebutkan itu adalah syarat-syarat subjektif
yang ditentukan dalam pasal 1320 KUH Perdata. Jika syarat-syarat
subjektif tidak dipenuhi, maka perikatan itu tidak batal, melainkan “dapat
dibatalan” (vernitigbaar, voidable).
Perikatan yang tidak memenuhi syarat-syarat subjektif
dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim dengan dua cara yaitu :
1)
Dengan cara aktif, yaitu meneuntut pembatalan kepada
Hakim dengan mengajukan gugatan;
2)
Dengan cara pembelaan, yaitu menunggu sampai digugat
dimuka Hakim untuk memenuhi perikatan dan baru diajukan alasan kekurangan dari
perikatan itu.
Sementara
itu, untuk pembatalan secara aktif, undang-undang memeberikan pembatasan waktu
yaitu lima tahun (pasal 1445 KUHPdt). Sedangkan pembatalan untuk pembelaan
tidak diadakan pembatasan waktu waktu.
I.
Berlaku syarat batal
Maksud dengan syarat disini adalah ketentuan
perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat manajika dipenuhi
mengakibatkan perikatan itu batal (neitig, void), sehingga perikatan menjadi
hapus. Syarat ini disebut “syarata batal”. Syarat batal pada asasnya selalu
berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan yang batal
dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan.
J.
Lampau waktu (daluarsa)
Menurut ketentuan pasal 1956 BW, “lampau waktu adalah
alat untuk memperoleh sesuatu (acquissitieve verjaring) atau untuk dibebaskan
dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang” (extintieve verjaring).
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perikatan
adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua
orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan
suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum
lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa
perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property),
juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang Hukum Waris ( law of succession ) serta dalam bidang Hukum
pribadi ( personal law ).
3.2 Saran
Saya menyadari
bahwa penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan
saran yang bersifat membangun akan perbaikan makalah Saya ini, dengan senang
hati dan terbuka dari saya menerima kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata
penyusun makalah mengharapkan agar makalah ini dapat bermanfaat bagi yang
membacanya dan untuk diterapkan dalam kehidupan sehar-hari.
3.3 Daftar Pustaka
semoga bermanfaat :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar